Home > Lingkungan

Koalisi Masyarakat Sipil Minta Pemerintah Hentikan Izin Baru Perkebunan Sawit

Daya tampung lingkungan batas atas atau cap sawit di Indonesia hanya sampai pada angka 18,15 juta hektare.
Kawasan hutan dirusak dan dialihfungsikan untuk perkebunan sawit di Simeulue, Aceh, Senin (5/8/2024). (Foto: Antara)
Kawasan hutan dirusak dan dialihfungsikan untuk perkebunan sawit di Simeulue, Aceh, Senin (5/8/2024). (Foto: Antara)

RUZKA INDONESIA - Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Madani Berkelanjutan, Satya Bumi, dan Sawit Watch mendorong para pihak agar menghentikan pemberian izin baru dan pembukaan kebun sawit baru di seluruh Indonesia.

Hal itu berdasarkan riset terbaru yang menemukan bahwa daya tampung lingkungan batas atas atau ‘cap’ sawit di Indonesia hanya sampai pada angka 18,15 juta hektar. Temuan koalisi ini menjadi krusial, mengingat industri sawit di Indonesia yang amat ekspansif dalam dua dekade terakhir.

Di tengah tantangan industri sawit saat ini, peluang ekspansinya masih berpotensi besar terjadi sementara lahan yang tersedia semakin terbatas, dan daya dukung ekosistem terus tergerus oleh alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit.

Jika pertumbuhan industri sawit dibiarkan tanpa pengendalian, hasil perhitungan ekonomi dan ekologi menunjukkan potensi kerugian jangka panjang yang besar. Kerusakan lingkungan akan mempengaruhi hasil produktivitas sawit, yang pada akhirnya mengancam ketahanan ekonomi jangka panjang industri sawit dan bahkan ekonomi nasional, karena dampak sosial dan ekologis yang tidak terkendali akan menciptakan beban besar bagi negara.

Deputy Director Madani Berkelanjutan, Giorgio Budi Indrarto menyatakan tren pengembangan sawit di Indonesia tidak berfokus pada peningkatan produktivitas sawit (intensifikasi) melainkan perluasan perkebunan sawit (ekstensifikasi).

“Bagaimana mengubah sawit menjadi lebih baik, tidak merusak dan dapat dimanfaatkan secara optimal tanpa melakukan perluasan. Konteks daya dukung dan daya tampung perlu dibunyikan. Berapa kemampuan lahan jika dikembangkan sawit? Itulah yang mendasari inisiatif riset ini,” ujar Giorgio di Jakarta, Selasa (1/10/2024).

Koalisi Masyarakat Sipil juga meminta optimalisasi perkebunan yang ada saat ini (intensifikasi kebun); Evaluasi perizinan kebun sawit yang terindikasi bermasalah secara administrasi perizinan, tata ruang, dan legalitas lahan; Menyelesaikan persoalan sawit dalam kawasan hutan; Menyelesaikan persoalan konflik lahan dan agraria di sektor sawit yang masih berlarut; Mengoptimalkan pencapaian sertifikasi sawit berkelanjutan (ISPO & RSPO) dan STDB sebagai bagian dari perbaikan tata niaga sawit secara keseluruhan; Mengejar legalitas lahan kebun, baik pada industri maupun petani swadaya; dan Mengejar pajak yang bocor di industri sawit.

Tujuannya riset, lanjut Giorgio, agar keberadaan atau pengembangan perkebunan sawit tidak menyebabkan kerusakan lingkungan hidup dalam jangka panjang, namun tetap dapat memenuhi kebutuhan.

Perhitungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dilakukan dengan menghitung kebutuhan manusia di suatu pulau dan bagaimana kesesuaian fisik pulau tersebut jika ditanami sawit menggunakan pemodelan kalkulator jejak ekologis yang terdiri dari 14 variabel pembatas. Ke-14 variabel itu terdiri dari: ketersediaan air, kesatuan hidrologis gambut (KHG), karst, mangrove, kawasan konservasi dan hutan lindung, hutan alam, resapan air, kelerengan > 30%, rawan bencana, habitat satwa dilindungi, key biodiversity area, jasa lingkungan hidup tinggi dan keberadaan penduduk. Itu artinya, kesesuaian fisik lahan sawit baru dapat terpenuhi jika tidak tumpang tindih dengan variabel tersebut.

Sementara Peneliti Satya Bumi, Riezcy Cecilia Dewi menyampaikan teknis metode riset ini diawali dengan menghitung luas lahan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan manusia dari berbagai sektor diantaranya papan, sandang, pangan dsb. Setelah itu, dilakukan penilaian kesesuaian fisik lahan untuk delapan jenis penutupan atau penggunaan lahan berdasarkan sejumlah parameter fisik.

“Hasil kesesuaian lahan ini kemudian di-overlay dengan variabel pembatas sehingga menghasilkan luas lahan yang tidak bisa dikembangkan lagi untuk perkebunan sawit,” kata Riezcy.

Jika melihat lebih detail, sebesar 34% tutupan sawit tahun 2022 nyatanya berada di luar kesesuaian lahan untuk sawit. Paling banyak berada di Pulau Kalimantan, yang mencapai 50% dari tutupan sawit existing.

“Selain itu ditemukan 64% “cap” sawit berada di area penting yang masuk dalam variabel pembatas, paling banyak juga ditemukan di Kalimantan yang mencapai 80% dari tutupan sawit yang ada disana,” jelas Riezcy.

Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo menambahkan bahwa penting melihat ‘cap’ sawit dalam kerangka perbaikan, bagaimana agar ini dapat mendukung industri sawit akan semakin baik dan bermanfaat serta semakin strategis. Dengan adanya batas atas ini, ujarnya, koalisi ingin mengatakan bahwa pengembangan sawit tidak boleh melebihi batas tersebut, jika melewati maka akan ada konsekuensi yang harus diterima terutama dari berbagai sektor karena telah melampaui kemampuan lahan.

“Kami berharap pemerintahan ke depan dapat mengadopsi konsep ‘cap’ sawit ini menjadi sebuah kerangka regulasi tertentu yang titik beratnya agar tidak ada perluasan lahan sawit,” kata Rambo. ***

× Image