Jardine Matheson Dituntut Walhi Bertanggung Jawab Atas Kerusakan Lingkungan di Sumut
RUZKA INDONESIA - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Utara bersama Walhi Nasional menggelar aksi protes di depan kantor Jardine Cycle & Carriage Limited di London, Inggris. Jardine Cycle & Carriage Limited adalah perusahaan induk yang memiliki PT Agincourt Resources, perusahaan yang mengoperasikan tambang emas Martabe di Sumatera Utara. Walhi menyuarakan kekhawatiran atas dampak lingkungan yang diakibatkan oleh tambang emas Martabe.
Aksi ini juga mendapatkan dukungan dari Friends of the Earth United Kingdom, sebuah organisasi lingkungan terkemuka yang berafiliasi dengan Friends of the Earth International, organisasi payung global yang menaungi Walhi.
Rianda Purba, Direktur Walhi Sumatera Utara, dihadapan perwakilan Jardin, mengungkapkan aktivitas tambang yang menyebabkan kerusakan yang sangat besar pada ekosistem Batang Toru dan mengancam kelangsungan hidup Orangutan Tapanuli, salah satu spesies paling langka di dunia.
"Tambang emas Martabe terletak di jantung ekosistem Batang Toru, yang merupakan habitat terakhir bagi Orangutan Tapanuli. Dengan populasi yang kurang dari 800 individu, spesies ini sangat rentan terhadap kepunahan," ujar Riyanda.
"Dalam 15 tahun terakhir, tambang ini telah menyebabkan deforestasi lebih dari 114 hektar, menghilangkan hutan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup orangutan dan spesies lainnya."
Protes ini juga menyoroti bahwa dampak tambang tidak hanya terbatas pada kerusakan hutan dan habitat satwa liar, tetapi juga mempengaruhi kehidupan manusia.
"Wilayah kerja perusahaan tambang tumpang tindih dengan hulu lima DAS utama yang menjadi sumber air bagi hampir 100.000 orang. Kerusakan ini berdampak langsung pada kualitas air dan ketahanan pangan masyarakat lokal," tambahnya.
Dalam aksi protes ini, Walhi dan Friends of the Earth mengajukan beberapa tuntutan kepada Jardine Matheson, perusahaan induk yang bertanggung jawab atas PT Agincourt Resources. Tuntutan ini mencakup langkah-langkah konkret untuk menghentikan kerusakan lebih lanjut pada ekosistem Batang Toru dan untuk melindungi Orangutan Tapanuli serta masyarakat lokal yang terdampak.
Pertama, Walhi menuntut agar Jardine Matheson segera menghentikan semua eksplorasi dan eksploitasi di wilayah orangutan Tapanuli, terutama di Area Keanekaragaman Hayati Kunci (KBA) dan Area Nol Kepunahan (AZE). Wilayah-wilayah ini adalah habitat kritis yang sangat penting untuk kelangsungan hidup spesies yang terancam punah, dan setiap kegiatan industri di sana telah berakibat fatal bagi ekosistem.
Kedua, Walhi mendesak agar Jardine Matheson menghentikan deforestasi di area tambang dan mengurangi area Kontrak Karya PT Agincourt Resources yang mencakup 30.629 hektar. Banyak dari area ini tumpang tindih dengan hutan lindung di Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan, yang seharusnya dilindungi dari aktivitas pertambangan dan kegiatan industri lainnya yang merusak.
Ketiga, Walhi menuntut penerapan kebijakan Tanpa Deforestasi, Pengambilan Gambut (NDPE) yang sudah diberlakukan oleh anak perusahaan Jardine lainnya, Agro Astra Lestari, agar diterapkan di seluruh operasi PT Agincourt Resources. Kebijakan ini penting untuk memastikan bahwa tidak ada lagi hutan yang hilang akibat kegiatan tambang.
Keempat, Walhi menyerukan penghormatan terhadap hak asasi manusia, khususnya hak-hak Masyarakat Adat dan komunitas lokal di sekitar Batang Toru. Dan kelima, Walhi meminta agar PT Agincourt Resources bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan hidup yang telah terjadi.
Selain di depan kantor Jardine Cycle & Carriage Limited, aksi protes juga dilakukan di depan hotel Mandarin Oriental, yang merupakan bagian dari bisnis Jardine Matheson. Nick Rau, perwakilan Friends of the Earth United Kingdom, menjelaskan bahwa aksi ini dilakukan sebagai dukungan terhadap upaya penyelamatan habitat orangutan tapanuli yang diperjuangkan masyarakat adat bersama Walhi.
"Kami bekerja bersama dengan Walhi sebagai sesama anggota FOE, karena perusahaan asal Inggris ini memberikan ancaman serius terhadap salah satu hutan terakhir di Indonesia, yaitu Batang Toru, yang merupakan rumah bagi Orangutan Tapanuli dan masyarakat adat," ujar Nick Rau.
Aksi protes ini juga bertujuan untuk meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya memantau kegiatan bisnis yang merusak lingkungan. "Kami ingin membuka mata publik tentang bisnis kotor yang mengancam kelestarian ekosistem dan keberlangsungan hidup manusia," tambah Rau.
Protes ini menyoroti perlunya penghentian segera aktivitas yang merusak habitat Orangutan Tapanuli serta kawasan hutan Batang Toru yang vital bagi keanekaragaman hayati dan masyarakat lokal. ***