Setelah Dua Kali Jadi Presiden Turki, Mampukah Erdogan Meraih Kembali Suara Rakyat dalam Pemilu 2023
Setelah Dua Kali Jadi Presiden Turki, Mampukah Erdogan Meraih Kembali Suara Rakyat dalam Pemilu 2023?
Oleh: Dr. Ade Solihat, M.A.
Pada Ahad 14 Mei 2023 merupakan hari penting bagi warga Turki. Mulai pukul 08.00 pagi waktu Turki atau sekitar pukul 13.00 WIB, pemilihan umum digelar serentak di 81 provinsi di Turki untuk memilih presiden Turki ke-13 secara langsung dan juga memilih wakil rakyat yang akan duduk di parlemen.
Bagi Recep Tayyip Erdogan (nama lengkap berbahasa Turki yang dibaca: Rejep Tayyip Erdowan), ini akan menjadi jabatannya yang ketiga sebagai Presiden Republik Turki yang dipilih secara langsung oleh rakyat, jika kembali meraih kemenangan pada Pemilu 2023.
Setelah dua periode menjabat Presiden Turki, mampukah Erdogan meraih kembali suara rakyat dalam Pemilu 2023?
Tulisan ini mengajak pembaca untuk mengenal jejak kepemimpinan Erdogan dalam dinamika sistem pemilu di Turki. Erdogan merupakan Presiden Turki pertama yang dipilih secara langsung oleh rakyat pada Pemilu 2014. Sebelumnya jabatan presiden ditentukan dalam pemilihan terbatas di parlemen.
Presiden Abdullah Gul yang merupakan sahabat politik Erdogan, merupakan presiden terakhir yang dipilih oleh parlemen untuk masa tugas 7 tahun (2007--2014).
Memang sejak keberhasilannya membawa AKP (Adalet Kalkınma Partisi atau Partai Keadilan dan Pembangunan) memenangkan pemilu 2002, Erdogan seolah melenggang tanpa halangan ke tampuk kepemimpinan Perdana Menteri Turki pada 15 Maret 2003.
Erdogan menjabat sebagai perdana menteri selama tiga periode (2003--2007, 2007--2011, dan 2011--2014). Erdogan juga dengan mudah meneruskan estafet jabatan presiden Turki ke-11 dari Abdullah Gul dan telah merampungkan dua periode jabatan presiden (2014--2019 dan 2019--2023).
Jika dihitung dari debut pertamanya sebagai perdana menteri selama tiga periode (2003--2014) dan dua periode sebagai presiden (2014--2023), masa kepemimpinan Erdogan telah melampaui masa 15 tahun kepemimpinan tokoh pendiri Negara Republik Turki, yaitu Mustafa Kemal Ataturk (1923-1938).
Namun, nampaknya Erdogan belum ingin berhenti menjadi tokoh nomor satu di negara republik yang sudah memasuki usia 100 tahun ini.
Memang setelah dua kali menjabat sebagai presiden, mencuat perbincangan tentang masih mungkinkah Erdogan berkompetisi sebagai kandidat presiden.
Dalam amandemen konstitusi tahun 2007, presiden yang semula dipilih oleh parlemen untuk masa jabatan tujuh tahun, telah diubah menjadi lima tahun dengan maksimal dua masa jabatan.
Pada masa jabatannya sebagai Presiden Republik Turki ke-12, yaitu pada 16 April 2017 terjadi perubahan sistem pemerintahan dari parlementer menjadi presidensial melalui referendum konstitusi yang disetujui oleh mayoritas pemilih Turki.
Dengan sistem presidensial, jabatan presiden yang semula simbolis sebagai kepala negara dan hanya berkegiatan seremonial, menjadi jabatan yang strategis sebagai pemimpin eksekutif yang membawahi kabinet pemerintahan.
Setahun pascareferendum, yaitu pada 9 Juli 2018, Erdogan kembali disumpah sebagai presiden untuk kedua kalinya. Jabatan periode 2018--2023 dianggap sebagai jabatan pertama Presiden Erdogan dalam pemerintahan presidensial.
Oleh karena itu, pada Pemilu Turki yang digelar Ahad 14 Mei 2023 ini, Erdogan kembali menggunakan hak pilihnya untuk berkompetisi untuk merebut suara dari 64.191.285 (75 persen dari penduduk Turki yang berjumlah 85.279.553 jiwa) warga pemilih.
Namun, apakah masyarakat pemilih Turki masih dalam nostalgia dua puluh tahun yang silam?
Pada masa awal kepemimpinannya Erdogan memang telah sukses menerapkan berbagai agenda reformasi vital dalam waktu singkat. Ia juga dianggap berhasil membangun kehidupan demokratisasi Turki yang semula terkunci oleh para pemimpin sekuler.
Selain itu, ia juga dianggap mampu menyelesaikan berbagai permasalahan korupsi, sehingga berhasil menekan inflasi Turki dan melunasi hutang-hutang negara. Ingatan masyarakat itu sangat mungkin menguat atau menguap.
Menguat, jika masyarakat Muslim Turki diingatkan pada kehidupan yang tertekan pada era-era pemerintahan sekuler sebelum masa Erdogan.
Sepanjang sejarah terbentuknya negara Republik Turki (1923), atas dasar mengusung Kemalisme yang menginginkan pembaratan, banyak kebijakan pemerintah yang menekan pembatasan mengekspresikan kesalihan di masyarakat Turki.
Erdogan berhasil mengembalikan demokrasi kepada maknanya, yaitu memberikan ruang kebebasan bagi masyarakat untuk mengekspresikan nilai-nilai yang dianutnya.
Ataukah ingatan terhadap kesuksesan Erdogan menguap?
Perjalanan kepemimpinan Erdogan menuju antiklimaks dengan kondisi krisis ekonomi di Turki yang terjadi sejak 2018. Krisis ekonomi yang ditandai dengan tingkat inflasi tinggi dan berbagai kebijakan Erdogan dianggap semakin membawa Turki pada kondisi ekonomi terburuk sepanjang sejarah.
Selain itu friksi antarkelompok agama, terutama sejak peristiwa kudeta gagal pada 2015, yang dituduhkan Erdogan kepada kelompok agama pimpinan Fethullah Gulen, juga telah menyebabkan berkurangnya kantong pemilih Erdogan.
Nampaknya, keterpurukan pemerintahan Erdogan dengan partai AKP-nya di lima tahun ini (2018--2023) menguatkan kepercayaan diri Cumhuriyet Halk Partisi (Partai Republik Rakyat).
Partai yang didirikan Mustafa Kemal Ataturk ini sebenarnya hanya berjaya pada awal-awal negara Turki berdiri. Sejak kemenangan Partai Demokrat pada 1950 partai CHP tidak lagi menjadi partai yang kuat. Namun, dalam pemilu 2023 ini CHP seolah menemukan momentum untuk bangkit menjadi rival AKP yang terkuat.
Pemilu Turki yang berlangsung pada Ahad 14 Mei 2023 akan segera ditutup pada pukul 17.00 waktu Turki. Pertarungan kelompok sekuler yang diwakili oleh CHP dan kelompok Islam yang diwakili oleh AKP menunjukkan kembali geliat yang dinamis.
Mampukah Presiden Recep Tayyip Erdogan mengulang kesuksesannya untuk mengantongi 50 persen + 1 suara pemilih seperti pada pemilu 2014 dan 2018?
Apakah Kemal Kılıcdaroglu dari CHP dan Sinan Ogan dari Ata İttifakı (Aliansi Leluhur), akan membuat suara terbagi merata, sehingga semua kandidat memperoleh suara kurang dari 50 persen?
Jika itu yang terjadi, warga Turki akan kembali ke tempat pemungutan suara pada 28 Mei 2023 untuk melakukan pemilu putaran kedua. (***)
Referensi:
Surat kabar online Sabah. https://www.sabah.com.tr/fotohaber/gundem/secim-sonuclari-icin-heyecanli-bekleyis-14-mayis-2023-secim-sonucu-13cumhurbaskanini-belirleyecek-anlik-veriler-sabahta; diakses pada 14 Mei 2023.
https://www.mevzuat.gov.tr/anasayfa/MevzuatFihristDetayIframe?MevzuatTur=1&MevzuatNo=6271&MevzuatTertip=5;diakses pada 14 Mei 2023.
Surat kabar online Bianet. https://m.bianet.org/bianet/siyaset/257634-ysk-bir-kimse-en-fazla-iki-defa-cumhurbaskani-secilebilir-ancak;diakses pada 14 Mei 2023.
Surat Kabar online Haberler. https://www.haberler.com/haberler/sinan-ogan-kimdir-sinan-ogan-hangi-partiden-15724307-haberi/;diakses pada 14 Mei 2023.
(Dr. Ade Solihat, M.A. adalah pengajar di Program Studi Arab Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) dan Pascasarjana Timur Tengah dan Islam (PSTTI) Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia. Dia merupakan alumni Universitas Marmara-Istanbul Turki (1998--2000) pada Program Institut Negara-negara Timur Tengah dan Islam.)