Home > Nasional

Mencari Keadilan Publik di Kasus Indosurya, Sekaligus Jaga Marwah MA

Henry Surya awalnya dituntut pidana penjara 20 tahun dan denda Rp 200 miliar subsider 1 tahun kurungan. Tuntutan tersebut dibacakan oleh jaksa penuntut umum (JPU) di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Rabu (4/1/2023).
Henry Surya yang di vonis bebas MA dalam kasus Indosurya.

ruzka.republika.co.id--Indosurya, sebuah lembaga yang namanya santer terdengar di seantero republik bukan karena prestasinya tapi karena fenomenanya dalam menimbulkan kerugian publik yang diderita akibat sepak terjang direksi dan manajemennya. Hal ini terungkap dengan lepasnya Henry Surya dalam kasus pidana penipuan dan penggelapan dengan total kerugian mencapai ratusan triliun rupiah.

Henry Surya awalnya dituntut pidana penjara 20 tahun dan denda Rp 200 miliar subsider 1 tahun kurungan. Tuntutan tersebut dibacakan oleh jaksa penuntut umum (JPU) di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Rabu (4/1/2023).

Kemudian, jaksa meminta agar aset KSP Indosurya dan Henry Surya yang saat ini telah disita untuk selanjutnya dikembalikan kepada korban investasi KSP Indosurya. Nilai aset yang sudah disita oleh jaksa hingga saat ini mencapai Rp 2 triliun dan Rp 400 miliar, serta 30 unit mobil.

Sebelumnya, Kejaksaan Agung menyebut jumlah korban penipuan dan penggelapan KSP Indosurya mencapai 23 ribu orang, dengan total kerugian mencapai Rp 106 triliun.

Alangkah terkejutnya publik ketika Hakim Ketua PN Jakarta Barat Syafrudin Ainor memutus untuk membebaskan Henry Surya dengan pertimbangan onslaag atau lepas, dimana perbuatan Henry Surya yang mengakibatkan kerugian bagi nasabah Indosurya masuk ranah perdata dan bukan pidana.

Membaca pertimbangan serta memperhatikan putusan yang menarik perhatian publik tersebut, banyak pakar dan pejabat publik menyatakan keprihatinannya.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Asrul Sani mengatakan, vonis lepas kepada bos Indosurya telah melukai rasa keadilan bagi masyarakat. Khususnya, mereka yang telah menjadi korban dari dua terdakwa Henry Surya dan June Indria itu.

Ia merasa, vonis lepas dua terdakwa kasus penipuan dan penggelapan koperasi simpan pinjam (KSP) Indosurya telah melukai hati masyarakat. Asrul berharap, Mahkamah Agung (MA) bisa melihat kembali seluruh fakta dalam kasus tersebut.

Dilihat apa kedua terdakwa itu benar tidak berbuat yang menyimpang sebagai orang yang bertanggung jawab dalam pengelolaan KSP Indosurya. Lalu, apa kedua terdakwa sudah menerapkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik dan amanah dari nasabah.

"Adakah keuntungan pribadi, keluarga atau kelompoknya yang diperoleh dengan cara yang tidak benar," ujar Asrul.

Asrul berpendapat, suatu hubungan yang pada dasarnya perdata, bukan berarti bisa dipastikan tidak ada unsur pidana. Ia menekankan, bisa jadi hubungan keperdataan kemudian bisa dipidanakan, sepanjang memang ada unsur-unsur perbuatan curang.

Bukan hanya Asrul Sani, banyak tokoh publik, yang juga berpendapat bahwa putusan PN Jakarta Barat No. 779/Pid.B/2022/PN Jkt.Brt tersebut, bukan hanya melukai rasa keadilan tapi juga merusak citra pengadilan di mata masyarakat.

Putusan lepas atas nama terdakwa Henry Surya memberikan makna bahwa seolah-olah bentuk penipuan yang menjerat jutaan nasabah bisa saja dibenarkan karena status hukum dari koperasi itu sendiri.

Memang, faktanya bahwa KSP Indosurya tidak memiliki izin selaku badan hukum yang dapat melakukan penghimpunan dari masyarakat. Hal tersebut menjadi absurd mengingat Majelis Hakim tidak mempertimbangkan sama sekali tentang status izin badan hukum KSP yang melakukan penghimpunan dana dari masyarakat luas ataupun kerugian yang dialami publik juga dianggap seuatu perbuatan yang masuk ranah perdata dan bukan pidana.

Majelis hakim pemeriksa pada putusan PN Jakarta Barat No. 779/Pid.B/2022/PN Jkt.Brt harus mempertanggung jawabkan putusannya, baik dari sisi etik maupun sisi teknis.

Menjaga Marwah MA.

Suatu kewajaran dan keniscayaan apabila seorang pejabat teras sekelas Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan HAM sekelas Mahfud MD menuangkan uneg-uneg dan kekesalannya atas lepasya Henry Surya (direktur Indosurya) dari jeratan hukum dan pertanggung jawaban pidananya.

Kekesalan dari Mahfud MD lalu dituangkan dalam bentuk pernyataan Mahfud MD ke media pada 27 Januari 2023, yang mana Mahfud menyampaikan, “Sore ini kami adakan rapat kordinasi dengan Kejaksaan Agung, Mabes Polri, Koperasi, Kantor Staf Presiden untuk membahas keterkejutan Indonesia baik pemerintah maupun rakyatnya karena kasus Indosurya yang sudah dibahas lama bahwa itu perbuatan hukum yang sempurna, itu ternyata dibebaskan oleh Mahkamah Agung," kata Mahfud lewat konferensi pers pada Jumat, (27/01/2023).

"Kita tidak bisa menghindar dari keputusan Mahkamah Agung. Kini saya mengganti kata menghormati (putusan MA). Saya sekarang mengganti kata 'tidak bisa' menghindar dari keputusan MA, mungkin kita tidak perlu menghormati. Kita tidak bisa mengindar, itu aja, kan, bisa. Nggak bisa apa pun karena itu keputusan Mahkamah Agung," sambungnya.

Kritik tersebut, namun, dialamatkan kepada institusi yang salah karena yang membebaskan Henry Surya adalah Pengadilan negeri Jakarta Barat dan bukan MA. Terlepas dari polemik kualitas dari putusan PN jakbar yang melepaskan terdakwa Henry Surya, alangkah baiknya apabila seorang menteri menkopolhukam bisa menahan diri untuk tidak melakukan langkah-langkah yang mengarah pada provokasi dan bahkan contempt of court karena mengajak publik untuk tidak menghormati putusan dari lembaga peradilan.

Amarah Mahfud MD sepatutnya diarahkan langsung kepada PN Jakarta Barat dan tidak perlu menargetkan Mahkamah Agung yang membawahi ratusan pengadilan negeri dan puluhan pengadilan tinggi termasuk peradilan umum, khusus, agama, TUN dan militer. MA, dengan wibawanya, memiliki integritas, independensi dan martabat yang perlu dijaga karena MA bersama pemerintah dan DPR adalah pilar utama negara kesatuan republik Indonesia.

Sama seperti Presiden dan DPR, sumber kewenangan MA dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman, bersumber dari komstitusi (Undang-Undang Dasar 45).

Hal ini ditegaskan oleh Dr. Haswandi, S.H., S.E., M.Hum, M.M., M.H., hakim agung kamar perdata yang telah puluhan tahun berkarir sebagai ketua pengadilan negeri di berbagai daerah dan pernah menjabat di Kepaniteraan Perdata Khusus Mahkamah Agung RI dan Direktur pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum (BADILUM).

Haswandi, begitu ia biasa dipanggil, sepakat bahwa putusan PN Jakarta Barat mungkin menciderai rasa keadilan di masyarakat, namun putusan tersebut belum berkekuatan hukum tetap (BHT) serta JPU selaku kepanjangan tangan dapat melakukan upaya hukum kasasi dengan tujuan mengkoreksi putusan PN Jakarta Barat yang kontroversial tersebut.

Haswandi menambahkan, JPU, sama seperti masyarakat pada umumnya, harus percaya dan memberikan kesempatan kepada MA untuk melakukan perbaikan-perbaikan atas kesalahan atau kekhilafan yang mungkin timbul di peradilan pada tingkat pertama maupun banding.

Segala upaya untuk mengkritisi MA, termasuk menyatakan untuk tidak patuh kepada putusan MA adalah tidak tepat karena, pertama, yang membuat putusan onslaagh adalah pengadilan tingkat pertama, yaitu PN Jakarta Barat, kedua, daripada menyatakan untuk tidak menghormati putusan MA, Mahfud MD dipersilahkan untuk melakukan upaya-upaya lain termasuk mengajukan kasasi, melaporkan majelis yang melepaskan direktur Indosurya ke Komisi Yudisial, atau apabila ada bukti lain, membuka penyelidikan atas Indosurya.

Sudah sepatutnya independensi, integritas dan wibawa hakim, baik di tingkat pertama maupun banding atau Hakim Agung sekalipun harus dijaga oleh semua pihak. Sangat disayangkan apabila ada statement-statement yang menyerang harkat MA, termasuk pernyataan-pernyataan atau ajakan untuk tidak lagi menghormati putusan-putusan MA, terlebih sudah banyak sekali putusan MA yang diputus demi menjaga keadilan, kepastian hukum serta memberikan manfaat kepada rakyat Indonesia. (Rusdy Nurdiansyah)

× Image