Warga Soal Lahan UIII Tegaskan Gugatannya Bukan Ditolak, Tapi Tidak Diterima
ruzka.republika.co.id--Warga Kampung Bojong Malaka bersama Koalisi Rakyat Anti Mafia Tanah (Kramat) mengklarifikasi pemberitaan yang menyebutkan mereka kalah dalam gugatan hasil sidang gugatan terkait lahan pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) di Pengadilan Negeri (PN) Depok, Jumat (09/12/2022).
Terkait pemberitaan di sejumlah media massa edisi Jumat (09/12/2022) berjudul Pengadilan Negeri Depok Tolak Gugatan Warga Terkait Lahan UIII, Ketua LSM Kramat, Syamsul Bachri Marasabessy menjelaskan, pihaknya mengajukan mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Depok dengan Nomor Perkara 259/Pdt.G/2021/PN.Dpk.
Dalam gugatan itu, pihaknya menggugat tujuh instansi pemerintah yakni Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia atau dulunya Departemen Penerangan Republik Indonesia serta Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia.Selanjutnya, Kementerian Agama (Kemenag), Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Kantor Pertanahan Kota Depok, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Barat dan Kementerian ATR/BPN RI.
“Bahwa kami menggugat tujuh instansi pemerintah tersebut, khusus Kementerian Agama Republik Indonesia dan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) sehubungan tindakan mereka menguasai dan menggunakan tanah hak milik adat kepunyaan kami untuk membangun Proyek Strategis Nasional (PSN) kampus Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII),” ujar Syamsul, Sabtu (10/12/2022).
Lanjut Syamsul, instansi pemerintah tersebut tidak memberikan uang ganti kerugian kepada pihak yang berhak yaitu warga Kampung Bojong Malaka, Kecamatan Sukmajaya sebagaimana diatur dalam ketentuan UU No.2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Bagi Kepentingan Umum.
"Pengakuan itu bukan semata-mata tanpa bukti. Sebab, mereka memiliki bukti yang ditunjukan dihadapan hukum melalui sidang perkara No.259/Pdt.G/2021/PN.Dpk tersebut berdasarkan bukti-bukti yang sah dan valid mengenal sejarah tanah tersebut (fakta historis), mengenai bukti surat (fakta yuridis) maupun bukti saksi (fakta sosial). Kesemuanya telah kami ajukan di hadapan sidang tersebut dimana Para Tergugat tidak bisa membantahnya,” tuturnya.
Menurut Syamsul, perkara Perdata No.259/Pdt.G/2021/PN.Dpk tersebut telah diputus Majelis Hakim Pengadilan Negeri Depok dengan amar putusan gugatan penggugat tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard (no).
“Oleh karena faktanya perkara tersebut diputus dengan amar putusan tidak dapat diterima, tidak lantas dapat diartikan gugatan kami dinyatakan ditolak,” terangnya.
Lanjut Syamsul, amar putusan yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima dengan amar putusan yang menyatakan gugatan ditolak dalam persfektif hukum acara perdata sangatlah berbeda maknanya. Bahkan, berbeda pula akibat hukumnya.
“Kalau amar putusan menyatakan gugatan tidak dapat diterima berarti gugatan tersebut cacat formil sehingga perlu diperbaiki dan boleh diajukan kembali oleh pihak penggugat dalam bentuk gugatan yang baru. Putusan tersebut belum menyentuh pokok perkara tapi baru sampai kepada persyaratan formil mengajukan gugatan,” paparnya.
Sedangkan, putusan perkara perdata yang menyatakan gugatan dikabulkan atau gugatan ditolak perkara tersebut sudah sampai kepada pemeriksaan pokok perkara. Sehingga, jika gugatan penggugat dinyatakan terbukti berdasarkan alat-alat bukti yang diajukan di persidangan maka amar putusannya menyatakan gugatan dikabulkan.
“Sedangkan apabila gugatan tidak dapat dibuktikan di hadapn sidang perkara tersebut maka amar putusannya akan berbunyi gugatan ditolak,” ungkap Syamsul.
Kemudian, ongkos perkara sebesar Rp.15.295.000 itu bukanlah sebuah sanksi melainkan, kewajiban sebagai pihak penggugat. “Perlu kami sampaikan bahwa kewajiban kami untuk membayar uang Rp.15.295.000 bukanlah merupakan sanksi atas tidak diterimanya gugatan kami karena dianggap cacat formil, tetapi merupakan pembayaran biaya perkara yang harus kami bayarkan karena kami sebagai pihak,” pungkas Syamsul. (Rusdy Nurdiansyah)