Nasional
Beranda » Berita » Mengakhiri Ketergantungan yang tak Terlihat: Kisah di Balik Pabrik NPK Nitrat Pertama Indonesia

Mengakhiri Ketergantungan yang tak Terlihat: Kisah di Balik Pabrik NPK Nitrat Pertama Indonesia

Ilustrasi petani menebarkan pupuk di lahan sawah. Di ujung rantai panjang industri pupuk nasional, petani menjadi pihak yang paling terdampak ketika pasokan pupuk terganggu akibat ketergantungan bahan baku impor. (Ilustrasi: Freepik)

RUZKA INDONESIA — Ketahanan pangan tidak selalu runtuh di sawah, tetapi sering bermula jauh sebelum benih ditanam. Indonesia kerap disebut negeri agraris. Sawah membentang dari Jawa hingga Nusa Tenggara, petani menjadi tulang punggung pangan, dan pupuk disebut sebagai nadi produktivitas pertanian.

Namun di balik narasi besar itu, ada satu ketergantungan yang selama bertahun-tahun nyaris tak pernah dibicarakan secara terbuka: bahan baku pupuk yang sebagian masih datang dari luar negeri. Ketergantungan itu sunyi, tidak kasatmata, tetapi mahal—dan berisiko.

Selama ini, Indonesia mampu memproduksi pupuk dalam jumlah besar. Namun untuk komponen tertentu—terutama nitrat, unsur penting dalam pupuk majemuk NPK—negeri ini masih menggantungkan pasokan dari impor. Ketika harga global bergejolak atau jalur pasok terganggu, dampaknya tidak langsung terasa di kota-kota besar.

Sementara di sawah, keterlambatan pupuk bisa berarti gagal tanam, panen tertunda, atau produktivitas menurun. Ketergantungan yang tak terlihat inilah yang diam-diam menguji ketahanan pangan nasional.

Nitrat: Mata Rantai Sunyi dalam Sistem Pangan

ITC Bersama Polres Depok Buka Pos Pengamanan Malam Tahun Baru, Dukung Rayakan Tanpa Kembang Api

Nitrat bukan istilah yang akrab di telinga petani. Ia tidak disebut di kios pupuk, jarang hadir dalam perdebatan publik, dan hampir tak pernah menjadi isu politik. Sementara itu, di balik layar industri pupuk, nitrat adalah bahan baku strategis. Ia menjadi komponen utama dalam pupuk NPK—jenis pupuk yang paling luas digunakan untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan dan hortikultura.

Tanpa pasokan nitrat yang stabil, produksi pupuk NPK akan terganggu. Ketika produksi terganggu, distribusi ikut tersendat. Dan ketika distribusi tersendat, petani berada di ujung rantai risiko. Inilah paradoks industri pupuk Indonesia: kuat di hilir, tetapi rapuh di hulu.

Paradoks itu tercermin dari data impor. Sebagaimana dirilis resmi oleh PT Pupuk Indonesia dan dilaporkan sejumlah media nasional, Direktur Utama Pupuk Indonesia Rahmad Pribadi menyebut bahwa Indonesia selama ini masih mengimpor sekitar 450 ribu ton pupuk NPK berbasis nitrat setiap tahun. Angka tersebut menunjukkan bahwa ketahanan pangan nasional masih bertumpu pada pasokan global—sebuah kondisi yang rawan di tengah ketidakpastian dunia.

Ketergantungan yang Mahal dan Lama Dianggap Normal

Ketergantungan impor nitrat nyaris tak pernah menjadi sorotan, berbeda dengan impor beras atau gula yang kerap memicu perdebatan politik. Padahal dampaknya sistemik. Fluktuasi harga nitrat di pasar internasional akan memengaruhi biaya produksi pupuk dalam negeri. Biaya produksi yang naik berpotensi menekan harga jual, membebani skema subsidi, atau memicu kelangkaan pupuk.

Rakernas PMSM Indonesia Susun Strategi Unggul Perkuat Daya Saing Global

Dalam beberapa tahun terakhir, pandemi, krisis logistik global, serta konflik geopolitik telah menunjukkan betapa rapuhnya rantai pasok internasional. Negara-negara produsen bahan baku cenderung memprioritaskan kebutuhan domestik. Dalam situasi seperti ini, ketergantungan impor bukan lagi sekadar persoalan ekonomi, tetapi juga soal kedaulatan.

Rahmad Pribadi menyatakan bahwa selama ini Indonesia membayar mahal untuk bahan baku pupuk strategis yang sebenarnya dapat diproduksi di dalam negeri. Ketika pasokan global terganggu, menurutnya, dampaknya tidak hanya dirasakan industri pupuk, tetapi juga langsung menjalar ke petani.

Harga gas industri menjadi faktor krusial bagi industri pupuk nasional, mengingat gas alam—khususnya metana—merupakan bahan baku utama dalam produksi pupuk nitrogen seperti urea. Ketersediaan dan harga gas domestik yang stabil melalui kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) sangat menentukan biaya produksi pupuk, daya saing industri, serta keterjangkauan harga pupuk bersubsidi bagi petani.

Tanpa perlindungan kebijakan, fluktuasi harga gas global berpotensi mendorong lonjakan biaya produksi pupuk secara signifikan, yang pada akhirnya berdampak langsung pada stabilitas ketahanan pangan nasional.

Di titik inilah ketergantungan impor pupuk dan bahan bakunya menjadi semakin mahal—bukan hanya secara ekonomi, tetapi juga secara struktural dalam sistem pangan nasional.

Hadapi Nataru, Bupati Majalengka Instruksikan Pantau Ketat Harga Pangan

Gambaran ketergantungan struktural itu tercermin jelas dalam data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia yang menunjukkan betapa impor pupuk masih menjadi kebutuhan berulang dalam sistem pangan nasional.

Sepanjang periode 2017–2024, Indonesia secara konsisten mengimpor pupuk dalam jumlah sangat besar, berkisar antara 5,3 juta hingga 8,1 juta ton per tahun, dengan puncak impor terjadi pada 2021 yang menembus 8,12 juta ton, dan kembali melonjak pada 2024 menjadi sekitar 7,53 juta ton. Angka ini menunjukkan bahwa impor pupuk bukanlah fenomena sesaat, melainkan kebutuhan berulang yang belum sepenuhnya bisa digantikan oleh produksi dalam negeri.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan impor pupuk Indonesia sepanjang 2017–2024 masih berada pada kisaran 5–8 juta ton per tahun, mencerminkan ketergantungan struktural pada pasokan global. (Sumber: BPS)

Ketergantungan tersebut semakin berisiko karena sumber impor pupuk Indonesia didominasi oleh Tiongkok, Kanada, Rusia, Mesir, dan Belarusia—negara-negara produsen besar pupuk dunia yang dalam beberapa tahun terakhir kerap terdampak gejolak geopolitik, kebijakan pembatasan ekspor, serta fluktuasi harga energi global.

Dampaknya terlihat jelas pada 2022, ketika volume impor pupuk justru lebih rendah dibanding tahun sebelumnya, tetapi nilai impornya melonjak tajam hingga lebih dari US$ 3,6 miliar, mencerminkan lonjakan harga global akibat krisis energi dan konflik internasional.

Selain mahal, pola impor pupuk Indonesia juga sangat fluktuatif dari tahun ke tahun, naik-turun tajam mengikuti dinamika global, yang menandakan ketidakpastian pasokan dan harga sebagai risiko laten dalam sistem pangan nasional.

Fakta-fakta ini menegaskan bahwa selama Indonesia masih bergantung pada impor pupuk dan bahan bakunya, ketahanan pangan nasional akan terus dipengaruhi faktor eksternal yang berada di luar kendali negara. Karena itu, upaya membangun kemandirian industri pupuk dari hulu—termasuk produksi nitrat di dalam negeri—bukan lagi sekadar opsi kebijakan, melainkan kebutuhan strategis untuk melindungi stabilitas pangan dan keberlanjutan pertanian nasional.

Dalam konteks inilah, keputusan membangun pabrik NPK nitrat pertama di Indonesia menemukan relevansinya.

Pada Februari 2023, pemerintah mengungkap fakta krusial: kebutuhan pupuk NPK nasional mencapai sekitar 13,5 juta ton per tahun, sementara pasokan domestik yang tersedia baru menyentuh 3,5 juta ton. Selisih besar inilah yang membuat persoalan pupuk terus berulang dari musim ke musim, terutama saat harga global melonjak dan pasokan terganggu, menegaskan bahwa penguatan kapasitas produksi pupuk dalam negeri telah menjadi keharusan strategis bagi ketahanan pangan nasional.

Titik Balik: Pabrik NPK Nitrat Pertama Indonesia

Kesadaran akan risiko itulah yang mendorong lahirnya keputusan strategis: membangun pabrik pupuk NPK nitrat pertama di Indonesia. Proyek ini resmi dimulai melalui groundbreaking pada 23 Desember 2025 di Kawasan Industri Pupuk Kujang, Cikampek, Jawa Barat.

Prosesi penekanan tombol bersama menandai pembangunan pabrik NPK nitrat pertama di Indonesia di kawasan Pupuk Kujang, Cikampek, Jawa Barat, pada Desember 2025. Proyek ini ditujukan untuk mengurangi ketergantungan impor bahan baku pupuk strategis. (Foto: Dokumentasi PT Pupuk Indonesia)

Pabrik tersebut dirancang memiliki kapasitas produksi sekitar 100 ribu ton per tahun dan ditargetkan mulai beroperasi pada 2027. Nilai investasinya mencapai Rp 550–600 miliar, sepenuhnya dibiayai oleh Pupuk Indonesia sebagai bagian dari strategi jangka panjang substitusi impor dan penguatan industri hulu pupuk nasional.

Rahmad Pribadi menyebut pembangunan pabrik ini sebagai tonggak sejarah baru industri pupuk Indonesia.

“Apa yang kita bangun ini akan menjadi landasan sejarah baru pembangunan industri pupuk dan pertanian secara keseluruhan. Ini langkah awal untuk mengakhiri ketergantungan impor nitrat yang selama ini tak terlihat, tetapi sangat menentukan.”

Dengan pabrik ini, Indonesia untuk pertama kalinya mulai membangun fondasi kemandirian bahan baku pupuk—sebuah langkah yang selama puluhan tahun tertunda.

Negara Hadir dari Hulu

Komitmen negara terhadap proyek ini ditegaskan oleh Wakil Menteri Pertanian Sudaryono. Ia menyatakan bahwa pembangunan pabrik NPK nitrat merupakan bagian dari rencana nasional membangun tujuh pabrik pupuk hingga 2029, sejalan dengan visi Presiden yang menempatkan sektor pangan dan pertanian sebagai program prioritas. Menurutnya, penguatan kapasitas produksi pupuk menjadi keharusan agar kebutuhan pupuk nasional selaras dengan tuntutan program pangan yang dijalankan pemerintah.

“Kita mengganti pabrik-pabrik yang sudah tua dan tidak efisien. Pabrik NPK nitrat ini diharapkan bisa mensubstitusi impor dan menekan biaya produksi pertanian,” ujar Sudaryono dalam keterangannya, dikutip Kamis (25/12/2025).

Ia menambahkan, selain peningkatan kapasitas produksi, pemerintah juga terus membenahi tata kelola pupuk, mulai dari penyederhanaan distribusi hingga kebijakan harga, termasuk diskon harga pupuk bersubsidi sebesar 20 persen yang telah diputuskan Presiden. Langkah-langkah ini, menurutnya, diperlukan agar ketahanan pangan tidak hanya ditopang oleh hasil panen, tetapi juga oleh kekuatan industri pendukung dari hulu.

Dampak Berlapis: Industri, Negara, hingga Petani

Dampak pembangunan pabrik nitrat tidak berhenti di kawasan industri. Bagi industri pupuk, ketersediaan nitrat domestik berarti kepastian pasokan dan stabilitas biaya produksi. Ketergantungan pada fluktuasi harga global dapat ditekan, sehingga perencanaan produksi menjadi lebih efisien.

Bagi negara, pengurangan impor nitrat berarti penghematan devisa dan penguatan neraca perdagangan. Dalam konteks ekonomi makro, substitusi impor bahan baku strategis adalah langkah penting memperkuat ketahanan ekonomi nasional, terutama di tengah ketidakpastian global.

Sementara bagi petani, dampaknya mungkin tidak langsung terasa, tetapi signifikan. Pasokan pupuk yang lebih terjamin berarti risiko kelangkaan menurun. Harga yang lebih stabil membantu perencanaan musim tanam dan biaya produksi.

Fasilitas industri pupuk nasional. Penguatan produksi dari hulu, termasuk bahan baku nitrat, dipandang sebagai fondasi strategis untuk menjaga ketahanan pangan serta stabilitas pasokan pupuk di dalam negeri. (Foto: Dokumentasi PT Pupuk Indonesia)

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, yang hadir dalam groundbreaking pabrik, menegaskan pentingnya ketersediaan pupuk bagi produktivitas pertanian. “Pupuk yang memadai dan terjangkau adalah kunci menjaga hasil pertanian dan kesejahteraan petani,” ujarnya.

Seorang petani di Jawa Tengah mengaku tak pernah memikirkan soal nitrat atau impor. “Yang penting pupuk ada saat dibutuhkan,” katanya singkat. Justru di situlah letak pentingnya kebijakan hulu—agar petani tidak perlu memikirkan persoalan yang seharusnya diselesaikan negara.

Ketahanan Pangan sebagai Fondasi, Bukan Sekadar Slogan

Pabrik NPK nitrat pertama Indonesia menandai perubahan cara pandang terhadap ketahanan pangan. Selama ini, ketahanan pangan kerap diukur dari output: berapa ton beras diproduksi, berapa luas lahan ditanami. Padahal, ketahanan pangan sejati bertumpu pada fondasi yang lebih dalam—ketersediaan input produksi yang berkelanjutan.

Negara-negara dengan industri pupuk maju telah lama membangun kemandirian bahan baku. Mereka memahami bahwa ketergantungan impor bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal geopolitik. Dalam situasi krisis global, bahan baku pupuk bisa berubah menjadi instrumen tekanan.

Indonesia kini mulai menutup celah itu. Pabrik nitrat menjadi simbol perubahan: dari sekadar mengelola hasil, menuju membangun fondasi.

Mengakhiri Ketergantungan yang Lama Dianggap Normal

Ketergantungan sering kali dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Selama pasokan tersedia, risiko diabaikan. Namun sejarah krisis global menunjukkan, ketergantungan selalu memiliki batas aman yang rapuh.

Ketika pabrik NPK nitrat ini kelak beroperasi penuh pada 2027, mungkin tak ada seremoni besar di sawah. Petani akan tetap menanam, memupuk, dan menunggu panen. Namun di balik rutinitas itu, ada satu perubahan mendasar yang jarang terlihat: Indonesia mulai berdiri di atas kaki sendiri dalam rantai industri pupuknya.

Ketergantungan yang selama ini sunyi—dan mahal—perlahan diakhiri. Bukan dengan slogan, tetapi dengan fondasi industri. Dari fondasi itulah, ketahanan pangan nasional mendapatkan makna yang sesungguhnya. Ketahanan pangan tak pernah runtuh tiba-tiba—ia rapuh diam-diam, selama negara nyaman bergantung. (***)

Penulis: Djoni Satria/ Wartawan Senior

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *