Nasional
Beranda » Berita » Ketika Bencana Menguji Ketahanan Pangan: Peran Pupuk Menjaga Sawah Pascabencana Sumatra

Ketika Bencana Menguji Ketahanan Pangan: Peran Pupuk Menjaga Sawah Pascabencana Sumatra

Ilustrasi air yang menutup petak-petak padi bukan hanya menenggelamkan tanaman, tetapi juga memutus siklus tanam, titik paling sunyi ketika ketahanan pangan nasional mulai diuji. (Foto: ANTARA FOTO/ Yudi Manar)

RUZKA INDONESIA — Tidak semua dampak bencana langsung terlihat. Setelah air surut dan longsor berhenti bergerak, perhatian publik sering beralih ke rumah yang rusak, jalan yang terputus, atau jumlah pengungsi yang harus segera ditangani. Namun di luar sorotan itu, ada ruang-ruang produksi yang bekerja dalam sunyi—lahan pertanian yang menunggu lebih lama untuk pulih.

Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Aceh pada penghujung November 2025 meninggalkan jejak kehancuran yang luas.

Di sejumlah wilayah, sawah terendam lumpur, irigasi terganggu, dan kesiapan tanam ikut terhenti—sebuah dampak yang tidak selalu tampak mencolok, tetapi berpengaruh panjang bagi keberlanjutan produksi pangan.

Data resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperlihatkan skala ancaman yang jauh lebih besar dari satu peristiwa tunggal. Sepanjang 1 Januari hingga 17 Desember 2025, tercatat 3.116 kejadian bencana di Indonesia, dan 99 persen di antaranya merupakan bencana hidrometeorologi—seperti banjir, cuaca ekstrem, kebakaran hutan dan lahan, tanah longsor, hingga kekeringan. Jenis bencana inilah yang paling sering beririsan langsung dengan lahan pertanian karena terjadi bersamaan dengan musim tanam dan musim panen.

Peta bencana Indonesia 2025. Sebanyak 3.116 kejadian bencana, 99 persen di antaranya hidrometeorologi, menunjukkan bahwa ancaman terhadap pangan bukan insidental, melainkan berulang dan sistemik. (Sumber: BNPB—Badan Nasional Penanggulangan Bencana)

Kerusakan pertanian kerap datang tanpa suara. Tidak selalu ada bangunan roboh atau pemandangan dramatis. Namun tanah berubah struktur, unsur hara tergerus, dan kalender tanam kehilangan kepastian. Bagi pertanian, kondisi ini bukan sekadar kerusakan fisik, melainkan hilangnya waktu—sesuatu yang tidak mudah digantikan.

Tragis Pekerja Proyek Jalan Asal Cirebon Meninggal di Selokan Jalur Bantarujeg–Talaga

Waktu dalam pertanian adalah segalanya. Ia menentukan kapan lahan diolah, kapan pupuk dibutuhkan, dan kapan panen bisa diharapkan. Ketika waktu itu terputus oleh bencana, yang tertunda bukan hanya musim tanam, tetapi juga kepastian pangan bagi jutaan orang yang tidak pernah melihat sawah tersebut secara langsung.

Dalam ruang sunyi itulah, persoalan pangan sering luput dari perhatian awal penanganan bencana. Padahal, sawah yang tak lagi bisa ditanami menyimpan konsekuensi yang jauh melampaui satu desa atau satu musim tanam. Dari titik inilah, bencana mulai menyentuh urusan yang lebih besar: ketahanan pangan nasional.

Bencana alam tidak hanya merobohkan rumah dan memutus jalan, tetapi juga menguji ketahanan pangan nasional pada titik paling sunyi: sawah yang tak lagi bisa ditanami. Di Sumatra Utara, Aceh, dan Sumatera Barat, banjir dan longsor memutus siklus tanam—sebuah jeda yang tak tercatat dalam kalender, tetapi menentukan masa depan pangan. Pada momen inilah pupuk berhenti menjadi sekadar input produksi dan berubah menjadi instrumen pemulihan negara.

Retaknya Siklus Tanam

Pertanian bekerja dengan ritme yang tidak bisa dipercepat sesuka hati. Ia tunduk pada musim, cuaca, dan kesinambungan proses dari pengolahan tanah hingga panen. Ketika bencana datang, seluruh ritme itu terhenti sekaligus. Sawah yang terendam banjir bukan hanya gagal panen, tetapi juga kehilangan kesiapan untuk musim berikutnya. Tanah yang tertimbun longsor membutuhkan pemulihan sebelum bisa kembali ditanami.

Paripurna DPRD Depok, Beri Penghargaan BKD Award untuk Dewan yang Disiplin, Aktif dan Beretika

Satu musim tanam yang hilang berarti satu tahun produksi pangan yang terganggu. Dampaknya tidak berhenti pada statistik produksi, tetapi merambat ke pendapatan petani, pasokan pasar, dan stabilitas harga. Dalam konteks nasional, jeda semacam ini memperbesar kerentanan sistem pangan—terutama ketika terjadi di wilayah yang selama ini menjadi penyangga produksi.

Sumatra memiliki posisi strategis dalam peta pangan Indonesia. Sumatra Utara dikenal sebagai salah satu produsen padi utama di luar Jawa, Aceh memiliki kawasan pertanian yang menopang kebutuhan regional, sementara Sumatera Barat berperan sebagai lumbung hortikultura kawasan barat. Gangguan produksi di wilayah-wilayah ini tidak bisa dipandang sebagai persoalan lokal semata.

Dalam situasi global yang diwarnai perubahan iklim dan volatilitas pangan dunia, setiap gangguan produksi domestik memiliki implikasi berlapis. Ketahanan pangan tidak lagi cukup dibaca sebagai ketersediaan stok, tetapi sebagai kemampuan sistem untuk pulih dan beradaptasi.

Namun kerusakan pertanian tidak selalu mudah dipahami hanya melalui narasi. Ia baru sepenuhnya terbaca ketika diukur dan dicatat, ketika kehilangan waktu diterjemahkan ke dalam angka. Pada titik inilah data mengambil peran penting—bukan untuk meniadakan emosi, melainkan untuk menegaskannya.

Paparan BNPB 2010–2025 menunjukkan bahwa lebih dari 97 persen bencana di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi yang datang berulang dan kerap beririsan langsung dengan musim tanam. Dalam pola bencana yang terus berulang ini, ancaman terbesar bagi ketahanan pangan bukan kehancuran sesaat, melainkan hilangnya waktu tanam—dan di situlah pupuk menjadi penentu apakah satu musim bisa diselamatkan atau hilang.

Selama 2025, BNN Lakukan Edukasi Bahaya Narkoba ke 21.085 Orang

Tren bencana hidrometeorologi 2010–2025. Lonjakan kejadian banjir dan cuaca ekstrem dalam satu dekade terakhir menegaskan bahwa sawah Indonesia kini hidup di bawah tekanan krisis iklim yang terus meningkat. (Sumber: BNPB—Badan Nasional Penanggulangan Bencana)

Ketika Angka Menjadi Emosi

Data sering dianggap dingin dan netral. Namun dalam konteks pangan, angka menyimpan cerita tentang risiko dan ketidakpastian.

Dari total bencana tersebut, banjir mendominasi dengan 1.584 kejadian, disusul cuaca ekstrem sebanyak 673 kejadian, kebakaran hutan dan lahan 546 kejadian, serta tanah longsor 225 kejadian. Dampaknya tidak berhenti pada kerusakan fisik.

BNPB mencatat 1.498 orang meninggal dunia, 264 orang hilang, dan lebih dari 10,27 juta orang terdampak serta mengungsi sepanjang 2025—angka yang mencerminkan betapa luasnya gangguan sosial dan ekonomi yang ditimbulkan oleh bencana berulang.

Data kebencanaan nasional mencatat bahwa sepanjang 2024 hingga akhir 2025, bencana hidrometeorologi—terutama banjir dan tanah longsor—mendominasi lebih dari 70 persen kejadian bencana nasional. Dalam berbagai peristiwa tersebut, sektor pertanian termasuk yang paling rentan terdampak karena kerusakan lahan sering kali bersifat permanen atau membutuhkan waktu pemulihan panjang.

Sementara itu, Kementerian Pertanian mencatat bahwa bencana banjir dan longsor berulang menyebabkan puluhan ribu hektare lahan pertanian di Indonesia mengalami gangguan produksi setiap tahun, baik karena terendam, tertimbun material, maupun rusaknya sistem irigasi. Angka ini memberi gambaran bahwa setiap kejadian bencana bukan sekadar urusan darurat, tetapi ancaman langsung bagi keberlanjutan pangan nasional.

Setiap hektare sawah yang tidak bisa ditanami tepat waktu adalah ancaman bagi keberlanjutan produksi. Setiap penundaan pemulihan memperpanjang ketidakpastian. Di sinilah data berubah menjadi emosi—karena di baliknya ada kepastian makan, daya beli, dan stabilitas sosial-ekonomi yang dipertaruhkan.

Bencana di Sumatra menunjukkan bahwa ketahanan pangan adalah urusan lintas wilayah. Gangguan di satu kawasan bisa beresonansi ke wilayah lain melalui pasar dan distribusi. Negara tidak bisa menunggu alam memulihkan dirinya sendiri. Diperlukan intervensi yang tepat, terukur, dan berbasis data agar siklus tanam dapat kembali berjalan.

Ketika dampak bencana telah terbaca secara sistemik, pertanyaan berikutnya bukan lagi soal apa yang rusak, melainkan siapa dan bagaimana sistem bekerja untuk memulihkannya. Di sinilah peran negara diuji secara nyata, bukan melalui wacana, tetapi melalui mekanisme yang menentukan apakah siklus tanam bisa kembali berjalan.

Kerusakan akibat bencana juga tercatat meluas pada infrastruktur penopang kehidupan. Sepanjang 2025, BNPB mencatat 184.344 unit rumah rusak, disertai kerusakan ribuan fasilitas publik, mulai dari satuan pendidikan, fasilitas kesehatan, hingga jembatan dan kantor pemerintahan.

Dalam konteks pertanian, kerusakan ini berimplikasi langsung pada terputusnya akses distribusi, terganggunya irigasi, dan tertundanya pemulihan lahan—faktor-faktor yang menentukan apakah satu musim tanam dapat diselamatkan atau hilang sepenuhnya.

Bencana Berulang, Ketahanan Pangan Diuji Secara Struktural

Data BNPB menunjukkan bahwa sepanjang 2010–2025, wajah kebencanaan Indonesia didominasi oleh bencana hidrometeorologi—banjir, cuaca ekstrem, dan tanah longsor—yang secara konsisten menyumbang lebih dari 97 persen total kejadian bencana nasional.

Dalam satu dekade terakhir, jumlah kejadiannya meningkat tajam, dari kisaran 1.600–1.900 kejadian per tahun di awal 2010-an, hingga menembus lebih dari 5.300 kejadian pada 2021, sebelum tetap bertahan di level tinggi hingga 2025.

Sebaliknya, bencana geologi seperti gempa bumi dan erupsi gunung api jumlahnya relatif kecil dan stabil, selalu berada di bawah 100 kejadian per tahun. Pola ini menegaskan bahwa ancaman utama bukan lagi peristiwa geologi yang sporadis, melainkan gangguan cuaca yang berulang dan bersinggungan langsung dengan ruang produksi pangan.

Dalam konteks tulisan ini, tren tersebut menjelaskan mengapa ketahanan pangan diuji bukan oleh satu bencana besar, melainkan oleh akumulasi gangguan kecil yang terus-menerus memutus siklus tanam. Sawah tidak selalu hancur sekaligus, tetapi kerap kehilangan kesiapan produksi akibat banjir dan cuaca ekstrem yang datang berulang.

Pada kondisi inilah, pupuk tidak lagi sekadar input pertanian, melainkan bagian dari mandat negara untuk menjaga sawah tetap produktif pascabencana, terutama di wilayah seperti Sumatra yang menjadi penyangga pangan regional.

Pengamat ketahanan pangan IPB University, Arief Hartono, menjelaskan bahwa bencana alam memberi tekanan berlapis pada sektor pertanian, terutama pada kesehatan tanah.

“Kerusakan lahan tidak hanya menurunkan hasil pada satu musim, tetapi juga mengganggu kesiapan tanam berikutnya. Tanah yang terendam banjir atau tertimbun material longsor mengalami penurunan kualitas fisik dan kimia. Tanpa pemulihan yang memadai, produktivitas akan terus menurun,” ujarnya dalam diskusi akademik mengenai kesehatan tanah dan ketahanan pangan.

Kesadaran bahwa gangguan pangan bersifat struktural mendorong negara tidak hanya merespons darurat, tetapi juga menyiapkan langkah pemulihan yang lebih sistemik.

Presiden Prabowo Subianto mengungkapkan bahwa sekitar 70 ribu hektare sawah di Sumatra mengalami kerusakan akibat bencana banjir dan tanah longsor. Pemerintah, kata Prabowo, memastikan pemulihan lahan pertanian tersebut akan dilakukan secepatnya agar kembali berfungsi menopang produksi pangan.

Pernyataan itu disampaikan Prabowo saat memberikan pengarahan kepada kepala daerah se-Papua dan Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua di Istana Negara, Jakarta, Selasa (16/12/2025).

Selain langkah pemulihan jangka pendek, pemerintah juga menyiapkan antisipasi jangka menengah dengan membuka lahan pertanian baru dalam skala besar sebagai bagian dari strategi menjaga keberlanjutan ketahanan pangan nasional.

Data statistik pertanian Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa produksi padi nasional sangat terkonsentrasi di wilayah tertentu, terutama Pulau Jawa dan sebagian Sumatra, dengan lebih dari separuh produksi nasional bergantung pada Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.

Sebaran produksi padi nasional. Lebih dari separuh produksi padi Indonesia bertumpu pada Jawa dan sebagian Sumatra—struktur yang membuat satu bencana regional berpotensi mengguncang stabilitas pangan nasional. (Sumber: Kementrian Pertanian RI)

Struktur ini membuat ketahanan pangan Indonesia sangat sensitif terhadap gangguan di daerah sentra produksi. Ketika banjir dan tanah longsor melanda Sumatra pada akhir November 2025—terutama di wilayah seperti Sumatra Utara dan Aceh—dampaknya tidak lagi bersifat lokal, melainkan berpotensi mengganggu pasokan dan stabilitas pangan nasional.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional menunjukkan bahwa pada Oktober 2025, produksi padi Indonesia mencapai 4,72 juta ton GKG (Gabah Kering Giling) dari luas panen 0,86 juta hektare—angka yang menegaskan bahwa ketahanan pangan nasional berdiri di atas ketepatan musim tanam dan kesiapan lahan.

Ketika banjir dan longsor merusak sawah pada fase krusial, pupuk bukan lagi sekadar input pertanian, melainkan garis batas antara keberlanjutan produksi dan hilangnya satu musim pangan nasional.

Dengan produksi 4,72 juta ton Gabah Kering Giling (GKG) dari 0,86 juta hektare, ketahanan pangan berdiri pada satu prasyarat rapuh: sawah harus pulih tepat waktu, dan pupuk tersedia saat musim tanam tak bisa menunggu. (Sumber: BPS—Badan Statistik Pusat)

Negara di Ujung Musim Tanam

Dalam sistem ketahanan pangan nasional, pupuk tidak berdiri sebagai komoditas semata, melainkan sebagai mandat negara yang dijalankan melalui mekanisme kebijakan, distribusi, dan pengawasan untuk memastikan sawah tetap produktif, bahkan ketika bencana mengganggu siklus tanam.

Pada 2025, pemerintah mengalokasikan sekitar 9,5 juta ton pupuk bersubsidi secara nasional, sebuah angka strategis yang menunjukkan betapa pupuk diposisikan sebagai instrumen negara dalam menjaga kesinambungan produksi pangan. Alokasi ini menjadi bantalan sistem ketika terjadi gangguan produksi akibat bencana.

Dalam konteks nasional, peran Pupuk Indonesia menjadi krusial sebagai pelaksana mandat tersebut. Posisinya berada di persimpangan antara kebijakan publik dan kebutuhan riil pertanian, terutama ketika lahan-lahan terdampak bencana harus segera dipulihkan agar tidak kehilangan satu musim tanam berikutnya.

Pascabencana, tantangannya berlapis-lapis. Distribusi pupuk harus menjangkau wilayah terdampak tanpa mengorbankan prinsip akuntabilitas. Ketersediaan stok harus dijaga, sementara ketepatan sasaran tetap menjadi prioritas. Kesalahan kecil dalam distribusi bisa berujung pada hilangnya satu musim tanam—konsekuensi yang dampaknya meluas ke sistem pangan nasional.

Direktur Utama Pupuk Indonesia, Rahmad Pribadi, dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa pupuk bersubsidi bukan sekadar soal distribusi barang, melainkan soal keadilan bagi petani.

“Pupuk adalah bagian dari kebijakan negara untuk memastikan produksi pangan tetap berjalan. Karena itu, ketepatan sasaran dan ketersediaan pupuk menjadi prioritas utama, termasuk di wilayah yang menghadapi gangguan akibat bencana,” ujarnya.

Pupuk sebagai Instrumen Pemulihan

Narasi pemulihan pascabencana sering kali berfokus pada pembangunan fisik: jalan, jembatan, dan rumah. Namun bagi pertanian, pemulihan dimulai dari tanah. Tanah yang terendam banjir atau tertimbun longsor mengalami penurunan kualitas fisik dan kimia. Ia membutuhkan rehabilitasi sebelum bisa kembali menopang tanaman.

Ketahanan pangan pascabencana tidak dimulai dari benih, tetapi dari kembalinya pupuk ke lahan yang rusak. Tanah yang kehilangan unsur hara tidak bisa serta-merta ditanami kembali. Di titik inilah pupuk bekerja sebagai alat rehabilitasi biologis—menjembatani antara kerusakan dan keberlanjutan, antara krisis dan harapan.

Ketika pupuk kembali ke sawah tepat waktu, negara sesungguhnya sedang memastikan satu hal paling mendasar: bahwa siklus pangan tidak berhenti di tengah bencana.

Pada peringatan Hari Pangan Sedunia 16 Oktober 2025 lalu, Prof. Suryo Wiyono, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University, menegaskan betapa krusialnya lahan pertanian bagi masa depan pangan Indonesia.

Ia menilai bahwa dampak bencana terhadap pertanian tidak berhenti pada satu musim tanam. Kerusakan lahan, menurutnya, sering kali memengaruhi kesiapan produksi pada musim berikutnya.

“Pertanian bekerja dengan siklus yang tidak bisa dipercepat. Ketika lahan rusak akibat banjir atau longsor, pemulihannya membutuhkan intervensi yang tepat agar tidak kehilangan musim tanam berikutnya. Dalam konteks ini, pupuk menjadi bagian penting dari upaya memulihkan kesuburan tanah dan menjaga kesinambungan produksi pangan,” ujar Suryo Wiyono dalam keterangannya terkait tantangan ketahanan pangan nasional.

Pandangan akademik tersebut menegaskan satu hal penting: pemulihan pertanian bukan sekadar urusan teknis, melainkan pilihan kebijakan. Dari sinilah ketahanan pangan harus dibaca sebagai kerja berkelanjutan yang menuntut konsistensi negara, bahkan ketika perhatian publik telah bergeser dari bencana.

Digitalisasi dan Akuntabilitas

Pengelolaan pupuk nasional tidak bisa dilepaskan dari peran teknologi. Digitalisasi distribusi dan pengawasan memungkinkan negara memantau alur pupuk dari hulu ke hilir. Dalam situasi darurat pascabencana, data menjadi kompas kebijakan—menentukan wilayah prioritas dan waktu distribusi yang paling krusial.

Teknologi juga berfungsi sebagai penjaga keadilan. Ia meminimalkan risiko kebocoran dan memastikan pupuk sampai kepada yang berhak. Dalam konteks krisis, akuntabilitas bukan sekadar kewajiban administratif, tetapi syarat utama efektivitas pemulihan.

Ketahanan Pangan Lebih dari Sekadar Stok

Selama ini, ketahanan pangan sering direduksi menjadi persoalan cadangan dan stabilitas harga. Padahal, inti ketahanan pangan adalah keberlanjutan produksi. Cadangan hanya bersifat sementara jika produksi tidak pulih. Bencana di Sumatra mengingatkan bahwa ketahanan pangan harus dibaca sebagai proses yang berkelanjutan—dari tanah, benih, pupuk, hingga panen.

Dalam proses itu, pupuk memainkan peran strategis. Ia menjadi jembatan antara kebijakan dan praktik, antara rencana dan realisasi. Ketika pupuk tersedia tepat waktu di wilayah terdampak, negara sedang menjaga kesinambungan sistem pangan.

Membaca Bencana sebagai Ujian Sistem

Bencana alam memang tidak bisa dicegah, tetapi dampaknya bisa dikelola. Yang diuji bukan hanya ketangguhan infrastruktur, melainkan ketahanan sistem. Dalam sektor pertanian, sistem itu mencakup kebijakan pupuk, distribusi logistik, serta kemampuan membaca situasi lapangan melalui data.

Sumatra Utara, Aceh, dan Sumatera Barat menjadi cermin bagaimana bencana menguji kesiapan nasional. Apakah sistem pupuk mampu beradaptasi dengan cepat? Apakah distribusi bisa menyesuaikan dengan kebutuhan pascabencana? Dan apakah kebijakan mampu memastikan pemulihan pertanian berjalan seiring dengan pemulihan sosial-ekonomi?

Di Balik Sawah yang Kembali Ditanami

Pemulihan pertanian pascabencana sering berlangsung tanpa sorotan. Tidak ada seremoni ketika sawah kembali ditanami. Namun justru di sanalah ketahanan pangan bekerja secara nyata. Setiap lahan yang kembali produktif adalah hasil dari rangkaian keputusan kebijakan, distribusi logistik, dan kesiapan sistem.

Pupuk menjadi simbol kehadiran negara yang paling konkret dalam proses ini. Ia tidak hadir dalam bentuk slogan, tetapi dalam bentuk hasil: tanah yang kembali subur, tanaman yang tumbuh, dan musim tanam yang berlanjut.

Pangan sebagai Ukuran Keberlanjutan Negara

Bencana di Sumatra memberikan satu pelajaran penting: ketahanan pangan pascabencana adalah ujian keberlanjutan negara. Ia tidak ditentukan oleh seberapa besar kerusakan, tetapi oleh seberapa cepat dan tepat sistem pemulihan bekerja. Dalam ujian ini, pupuk memegang peran strategis—menghubungkan kebijakan dengan kebutuhan paling dasar masyarakat.

Ketika bencana kembali datang—dan ia akan datang—yang menentukan bukan sekadar respons darurat, tetapi kemampuan menjaga siklus tanam agar tidak terputus. Di sanalah ketahanan pangan menemukan maknanya yang paling konkret: bukan sebagai jargon, melainkan sebagai sistem yang bekerja, bahkan di tengah krisis. (***)

Oleh: Djoni Satria / Wartawan Senior

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *