
RUZKA-REPUBLIKA NETWORK — Pagi belum sepenuhnya panas ketika saya melintasi Jalan Margonda beberapa hari lalu.
Barisan kendaraan mengular pelan, seperti napas panjang yang tersengal dari arah pintu tol hingga lampu merah. Denyutnya sama setiap hari: padat, seperti tak terurus, dan tak pernah menawarkan harapan selain keluhan.
Margonda, jalan yang sejak lama menjadi denyut nadi Kota Depok, kini seperti bersiap menanggung beban ambisi politik.
Setiap pagi, ia memperlihatkan wajah kota yang tumbuh terlalu cepat namun belajar terlalu lambat. Kemacetan bukan lagi persoalan, melainkan warisan yang terus berpindah dari satu periode ke periode berikutnya.
Dan di atas warisan itulah Pemerintah Kota (Pemkot) Depok meletakkan sebuah mimpi baru: pembangunan flyover Margonda. Di jalan ini, setiap hari, ribuan orang rela kehilangan waktu hidupnya.
Di jalan inilah janji besar kembali diumbar—bahwa sebuah flyover akan menjadi obat bagi luka panjang yang tak kunjung sembuh.
Flyover yang membelah Jalan Juanda tersebut digadang-gadang menelan anggaran Rp275 miliar yang berasal dari skema pinjaman daerah.
Tidak ada yang salah dengan mimpi itu. Yang bisa salah adalah cara mewujudkannya.
Sebab apa yang terlihat belakangan ini menunjukkan satu hal: ambisi berlari jauh lebih cepat daripada akal sehat.
Baca juga: Bappeda Depok Gelar Kongko Pembangunan, Jaring Aspirasi Masyarakat untuk Pembangunan Berkelanjutan
Proyek diumumkan sebelum fondasinya benar-benar berdiri. Rencana dikibarkan sebelum perhitungannya tuntas. Seolah gagasan lebih penting daripada kesiapan, dan publik hanya diminta percaya tanpa diajak memahami.
Dalam kondisi itu, kata “dipaksakan” bukan sekadar pilihan diksi—ia berubah menjadi diagnosa. Kota ini sedang menjalankan proyek besar dengan cara yang tidak siap, tergesa, dan terlalu mengandalkan keyakinan dibandingkan perhitungan.
Hal yang lebih mengkhawatirkan adalah cara keputusan diambil. Ada kecenderungan yang makin terlihat jelas: keinginan tampil seolah bekerja mengalahkan kebutuhan untuk memastikan segala sesuatu diletakkan di atas landasan yang kuat.
Keyakinan diperlakukan seperti pengganti data, dan kemauan dianggap lebih penting daripada kewajiban menghitung konsekuensi.
Ketika sebuah kota membangun proyek besar tanpa kehati-hatian, maka yang terjadi bukan pembangunan, melainkan politik pencitraan.
Di tengah semua itu, Margonda menjadi cermin bagi cara kota ini mengambil keputusan. Ia memperlihatkan bahwa pembangunan sering kali terjebak dalam lingkar ambisi, bukan dalam kerangka kebutuhan yang terukur.
Padahal pembangunan adalah keputusan moral. Dan moralitas itu diuji ketika uang rakyat dipertaruhkan untuk proyek yang belum matang secara teknis.
Itulah sebabnya masalah kota ini bukan semata kemacetan. Masalahnya lebih dalam—ia adalah keangkuhan dalam mengambil keputusan.
Warga Depok tidak bodoh. Mereka tahu bahwa utang tidak membangun dirinya sendiri. Mereka tahu cicilan yang muncul hari ini akan dibayar oleh hak-hak mereka di masa depan: pendidikan, kesehatan, fasilitas umum. Dan mereka tahu siapa yang akhirnya menanggung risiko dari keputusan yang tergesa-gesa.
Jawabannya bukan pemerintah. Jawabannya warga.
Karena itu sebelum tiang pertama berdiri, sebelum beton pertama dituang, sebelum keputusan final diteken, pertanggungjawabkan dulu akalnya.
Flyover Margonda dapat dibangun kapan saja. Namun kepercayaan publik hanya bisa dibangun satu kali.
Tulisan ini bukan penolakan terhadap pembangunan flyover Margonda. Ini seruan untuk berhenti sejenak, mengambil napas, dan memastikan setiap langkah memiliki pijakan.
Pembangunan harus lahir dari perhitungan yang matang, dari data yang kuat, dari kehati-hatian fiskal—bukan dari ambisi yang tergesa. Sebab keputusan yang dibuat hari ini akan membebani anggaran kota bertahun-tahun ke depan.
Pada akhirnya, semua beban itu akan kembali ke satu pihak: warga—mereka yang hidup, bekerja, dan membayar pajak di kota ini.
Ketika sebuah keputusan diambil tanpa kehati-hatian, tidak ada lembaga lain yang menanggung konsekuensinya selain masyarakat itu sendiri.
Kota yang sehat adalah kota yang membuat keputusan dengan akal sehat, bukan kota yang tersandung oleh ambisi pemimpinnya. (***)
Penulis: Djoni Satria/Wartawan Senior
