Nasional
Beranda » Berita » Tiga Wajah Perlindungan: Jejak Yuliana, Soeharmoko, dan Primasari Merangkul 47,89 Juta Pekerja Rentan

Tiga Wajah Perlindungan: Jejak Yuliana, Soeharmoko, dan Primasari Merangkul 47,89 Juta Pekerja Rentan

Yuliana (Kanan), Agen Perisai BPJS Ketenagakerjaan memberikan penjelasan manfaat program jaminan sosial. (Foto: DJONI SATRIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK — Pagi di Desa Sanja, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, datang bersama cahaya tipis yang menyelinap lewat celah jendela rumah Yuliana (47).

Di halaman kecil yang masih basah oleh embun, dua anak gadisnya sudah bergerak: satu menyapu teras, satu lagi membersihkan rak alat tulis kantor (ATK) yang menempel di dinding kios mungil milik keluarga.

Sementara itu, Yuliana menata buku tulis dan bolpoin di atas etalase kaca, menyiapkan hari yang selalu dimulai lebih cepat daripada langkah jam dinding yang tergantung miring.

Sekitar pukul 10.00 WIB, Senin (24/11/2025), Ruzka Indonesia menyambangi rumah itu. Teras yang tak begitu luas sudah dipenuhi ibu-ibu dari lingkungan sekitar.

Mereka duduk bersila, sebagian membuka mushaf, mengikuti pengajian rutin yang digelar dua kali seminggu, setiap Senin dan Selasa. Suasana rumah Yuliana berubah menjadi ruang teduh dengan lantunan ayat suci yang mengalir pelan—sejuk, akrab, dan terasa memeluk.

Indonesia Berzikir Sambut Tahun Baru, Diawali Kegiatan dengan Khitanan Massal dan Santunan Yatim

Menjelang siang, pengajian usai. Gelas teh mulai dingin, ibu-ibu mulai berkemas. Di sela jeda itu, Yuliana memanggil Soeharmoko (57) yang sejak pukul 11.35 WIB duduk dekat teras. Ia meminta Soeharmoko memberikan presentasi kecil mengenai manfaat jaminan sosial bagi pekerja rentan kepada para ibu-ibu yang masih tinggal.

Saat suasana pengajian perlahan mencair dan ibu-ibu mulai bersiap pulang, obrolan ringan berubah menjadi percakapan yang lebih serius.

Baca juga: Catatan Cak AT: Merpati dan Elang Israel

Lalu terjadilah momen sederhana yang justru membekas: tanpa perlu banyak tanya, beberapa ibu langsung mengajukan diri untuk didaftarkan sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan.

Penjelasan Soeharmoko, mengalir seperti percakapan dapur—ringan, jujur, dan dekat dengan hidup mereka. Iurannya kecil, tetapi manfaatnya jauh lebih besar: perlindungan jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan kematian (JKM), hingga pegangan jangka panjang lewat Jaminan Hari Tua (JHT).

Catatan 2025 Jakarta: Sudah On The Track, Tetapi …

Setelah azan Zuhur berkumandang dan salat ditunaikan, Yuliana kembali mengajak Soeharmoko bergerak. Kali ini lebih jauh—menuju wilayah Pasir Mukti, tetapi masih di Kecamatan Citeureup, Bogor, mengunjungi PT Gonia Alima Zha, perusahaan yang bergerak di bidang pemasaran properti.

Kunjungan itu bukan hal baru. Sudah menjadi rutinitas, selepas pengajian Senin–Selasa, kadang mereka berdua turun ke lapangan, mendata dan merekrut peserta Bukan Penerima Upah (BPU) yang rentan secara ekonomi.

Di kantor PT Gonia Alima Zha, sekitar sepuluh pekerja kontrak berstatus PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) sudah menunggu. Yuliana membuka presentasi, Soeharmoko berdiri di sampingnya, menambahkan penjelasan soal risiko kerja dan pentingnya perlindungan jaminan sosial. Para pekerja PKWT itu menyimak serius; sebagian mencatat, sebagian mengangguk memahami.

Hingga akhirnya, pimpinan kantor menyampaikan keputusan penting.

“Kami ingin melindungi pekerja PKWT sebanyak sepuluh orang untuk mendapatkan jaminan perlindungan sosial dari BPJS Ketenagakerjaan,” ujar Surya Mulyadi, Pimpinan PT Gonia Alima Zha.

Ketika Citra Satelit Menentukan Cepat Lambatnya Pupuk Menyelamatkan Sawah Pascabencana Sumatra

Soeharmoko, Agen Perisai BPJS Ketenagakerjaan berpose bersama usai pengajian ibu-ibu. (Foto : DJONI SATRIA)
Soeharmoko, Agen Perisai BPJS Ketenagakerjaan berpose bersama usai pengajian ibu-ibu. (Foto : DJONI SATRIA)

Bagi Yuliana dan Soeharmoko, angka itu bukan sekadar daftar nama. Itu adalah sepuluh keluarga yang kini memiliki pegangan ketika risiko datang tiba-tiba. Dari rumah sederhana di Desa Sanja hingga kantor pemasaran properti di Pasir Mukti, langkah-langkah kecil itulah yang perlahan mengubah hidup para pekerja rentan.

Namun kehidupan Yuliana tidak hanya diisi oleh kerja lapangan dan tugas-tugas pengabdian itu. Ada satu ruang sunyi yang selalu menunggu di balik semua kesibukannya.

Di balik kesibukan hari itu, ada sunyi yang tak pernah sepenuhnya padam. Sejak Ade Pati Lisdiawan—suaminya yang pengemudi ojek daring—meninggal pada Mei 2025, kehidupan Yuliana masih menyimpan kenangan yang terputus tanpa aba-aba.

“Biasanya jam segini dia berangkat,” ujarnya.

Kini yang berangkat hanyalah kenangan.

Tak ada yang benar-benar mengajarkan bagaimana menghadapi kehilangan mendadak bagi keluarga pekerja informal—hidup tanpa tabungan, tanpa aset, tanpa jaring pengaman. Ade bekerja keras setiap hari, tetapi seperti jutaan pekerja lainnya, ia bekerja tanpa perlindungan apa pun. Ketika kematian datang terlalu cepat, kebutuhan hidup tetap tinggal—menatap Yuliana dan dua anak gadisnya tanpa belas kasihan.

Membuka Kerentanan Nasional

Kisah yang dialami Yuliana hanyalah salah satu potongan kecil dari gambaran besar kerentanan pekerja di Indonesia. Kisah Yuliana bukan anomali. Ia adalah statistik yang hidup, bagian dari jutaan orang yang bekerja tanpa kepastian.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Agustus 2025 terdapat 47,89 juta pekerja tidak penuh, yang bekerja hanya 1–34 jam per minggu. Angka ini setara 32,68 persen dari seluruh pekerja Indonesia, dan terus meningkat setiap tahun.

Sementara itu, proporsi pekerja penuh—yang bekerja setidaknya 35 jam per minggu—justru menurun dari 68,92 persen menjadi 67,32 persen. Stabilitas kerja menyusut, tetapi biaya hidup terus melambung.

Baca juga: Gerak Cepat Penyaluran Bantuan Terdampak Erupsi Gunung Semeru

Di dalam kelompok pekerja tidak penuh itu terdapat pekerja paruh waktu sebesar 24,77 persen dan setengah pengangguran sebesar 7,91 persen. Data BPS juga memperlihatkan jurang kota–desa yang makin lebar: Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) perkotaan 5,75 persen, jauh di atas pedesaan 3,47 persen.

Dalam konteks perbedaan kota–desa inilah, wilayah perkotaan menjadi episentrum kerentanan baru—tempat tekanan ekonomi, kompetisi kerja, dan fluktuasi pendapatan menumpuk sekaligus. Depok adalah salah satu contohnya.

Kota seperti Depok menjadi zona risiko tinggi: biaya hidup yang tinggi, tekanan urban yang keras, dan fluktuasi pendapatan yang semakin ekstrem. Yang paling terpukul adalah perempuan, yang jam kerjanya fluktuatif dan pendapatannya paling mudah jatuh. Dari seluruh angka itu, satu hal menjadi jelas: pekerja rentan adalah wajah baru pasar kerja Indonesia.

Soeharmoko dan Yuliana usai presentasi kepada pekerja PKWT di kantor pemasaran properti, PT Gonia Alima Zha. (Foto : DJONI SATRIA)
Soeharmoko dan Yuliana usai presentasi kepada pekerja PKWT di kantor pemasaran properti, PT Gonia Alima Zha. (Foto : DJONI SATRIA)

Agen di Titik Buta Negara

Ada seseorang yang memahami statistik itu bukan dari layar presentasi, melainkan dari bangku plastik sebuah warung kopi. Ia adalah Soeharmoko—orang yang tadi bergerak bersama Yuliana. Seorang Agen Perisai (Penggerak Jaminan Sosial Indonesia) dari Wadah Perisai Mustofa Dedikasi Negeri (Madani), Depok.

Ia bergabung sejak 2023, dan sejak itu pula ia menjejak gang demi gang, menjumpai para pekerja yang hidup di titik buta negara: mereka yang bekerja keras setiap hari, tetapi nyaris tak tersentuh perlindungan apa pun.

Setiap pagi, setelah merawat ibu kandungnya yang renta dan istri yang sakit, ia menstarter motor matiknya dan mulai turun ke lapangan.

Ayah dua orang anak ini, bukan pejabat publik, tetapi perannya menutup lubang besar dalam sistem perlindungan sosial: menjangkau pekerja informal yang tidak pernah mendatangi kantor jaminan sosial.

Ruang kerjanya sederhana: pangkalan ojek yang becek, gang-gang kecil yang tak tercatat di Google Maps, lapak pedagang kecil, warung kopi pinggir jalan, hingga kontrakan buruh harian. Sejak menjadi Agen Perisai, ia telah mendaftarkan lebih dari 500 pekerja rentan satu per satu.

Baca juga: Investasi Hilirisasi Melonjak jadi Rp431,4 Triliun

Salah satu yang pernah ia jangkau adalah Ade Pati Lisdiawan. Namun Soeharmoko tak pernah membayangkan bahwa suatu hari ia akan melihat Yuliana—dengan tangan gemetar—mengetuk pintunya membawa map berisi masa depan yang hilang.

Menurut Ahmad Jafar Sidik, Pemilik Wadah Perisai Andalan Sukses Semesta, Depok, “Negara punya program, tapi tidak selalu punya tangan untuk menjangkau mereka yang paling membutuhkan. Agen Perisai-lah tangan itu.”

Saat Negara Hadir, Tapi Terlambat

Pada 14 Juli 2025, Yuliana datang dengan membawa selembar kartu BPJS Ketenagakerjaan, KTP, dan surat keterangan kematian suaminya dari RS Sentra Medika Cibinong, Kabupaten Bogor, dan dari Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor.

“Saya tidak tahu harus mulai dari mana,” ucapnya.

Di teras kecil rumahnya, Soeharmoko memeriksa map lusuh yang diberikan Yuliana. Ia memeriksa berkas-berkas itu, satu per satu. Tidak ada birokrasi rumit. Tidak ada syarat-syarat yang membingungkan. Ia tahu apa yang harus dilakukan—dan yang lebih penting, ia tahu bagaimana menenangkan seseorang yang sedang kehilangan.

Seminggu kemudian, klaim Jaminan Kematian (JKM) Rp42 juta cair dari BPJS Ketenagakerjaan Depok. Hanya tujuh hari, proses yang cepat bagi pekerja informal.

Bagi sebagian orang jumlah itu mungkin tidak besar, tetapi bagi Yuliana, itu adalah perisai terakhir agar dapur tetap mengepul dan hidup harus terus berlanjut.

Namun di balik keberhasilan itu, ada ironi yang perih: perlindungan sosial baru hadir setelah risiko menimpa. Setelah ada yang kehilangan suami, ayah, dan tumpuan hidup. Bagi Yuliana, ironi itu berubah menjadi panggilan.

Transformasi Menjadi Agen Perisai

Sore itu, setelah seluruh proses selesai, Yuliana bertanya pelan:

“Apa saya bisa jadi Agen Perisai juga, Pak?”

Kalimat itu bukan ambisi. Itu naluri bertahan hidup dan naluri untuk memastikan orang lain tidak terlambat seperti dirinya.

Soeharmoko menjawab, “Ibu bukan hanya bisa. Ibu akan didengar banyak orang. Karena Ibu penerima manfaat dari jaminan sosial itu.”

Infografik Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Agustus 2025. (Sumber : Badan Pusat Statistik)
Infografik Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Agustus 2025. (Sumber : Badan Pusat Statistik)

Beberapa minggu kemudian, Yuliana resmi menjadi Agen Perisai, dari Wadah Perisai Mustofa Dedikasi Negeri (Madani), Depok.

Dampaknya langsung terasa. Dalam empat bulan, ia telah mendaftarkan lebih dari 250 pekerja rentan—kebanyakan perempuan: pedagang kecil, pemulung, pekerja rumahan, janda kepala keluarga dan orang-orang di sekitar rumahnya.

Seorang pemulung dekat tempat tinggalnya berkata, “Bu Yuliana tidak menawarkan program. Dia menawarkan pengalaman.”

Seorang pengemudi ojol teman almarhum suaminya menambahkan, “Dia tidak bicara manfaat. Dia bicara luka yang pernah dia alami.”

Model perlindungan berbasis pengalaman langsung—perlindungan dari sesama pekerja rentan kepada pekerja rentan lainnya—yang sering luput dari sorotan kebijakan, tetapi bekerja lebih cepat daripada kampanye resmi mana pun.

Penggerak dari Sukmajaya

Di titik lain di Depok, terdapat Agen Perisai ketiga yang juga memulai dari kerapuhan. Perempuan itu bernama Primasari (43).

Sebelum menjadi Agen Perisai, ia pernah bekerja sebagai ojek daring, caregiver lansia, sekuriti, hingga pekerja bersih-bersih harian. Semua pekerjaan itu membuatnya berada dalam posisi yang sama seperti pekerja rentan yang kini ia ajak untuk terlindungi.

Ia bergabung menjadi Agen Perisai pada 23 Agustus 2025, di bawah Wadah Perisai Andalan, Depok. Ia berkata jujur perihal motivasinya, “Awalnya karena memang saya butuh pekerjaan. Tapi setelah saya berada di Perisai, jiwa saya di bidang pelayanan terus bertumbuh dan berkembang,” kata Prima kepada Ruzka Indonesia, Senin (24/11/2025), di Depok.

Baca juga: TNI Kirim Hercules dan Kapal Rumah Sakit ke Gaza

Primasari melihat langsung kerasnya hidup pekerja informal, “Kita yang bukan pekerja perusahaan tidak ada perlindungan diri, tapi harus bekerja keras untuk keperluan rumah. Pendidikan anak mahal. Ironisnya, kadang keselamatan diri sering tidak terpikirkan.”

Ia sendiri sudah terdaftar sebagai peserta Bukan Penerima Upah (BPU) selama 1,5 tahun.

“Paling tidak, kalau saya kenapa-kenapa di jalanan, saya tidak merepotkan keluarga,” ujarnya.

Sejak bergabung sebagai Agen Perisai, ia telah mengajak 250 pekerja rentan, mulai dari tukang sampah, marbot, hansip, pekerja harian kafe, buruh konveksi, hingga pekerja garmen.

Kendala utamanya? “Mereka selalu mengaitkan BPJS Ketenagakerjaan, dengan saudara kembarnya BPJS Kesehatan, padahal beda,” jelas Prima.

Gambaran tentang tiga Agen Perisai ini berpaut erat dengan pandangan pihak BPJS Ketenagakerjaan sendiri mengenai skala persoalan yang mereka hadapi.

Suara Negara di Tengah Kerentanan

Untuk memperkaya perspektif, Ruzka Indonesia menemui Novarina Azli, Kepala BPJS Ketenagakerjaan Depok di kantornya, Senin (24/11/2025).

Data terbaru per 31 Oktober 2025 menunjukkan, jumlah peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan Depok telah mencapai 197 ribu orang.

“Sementara total peserta aktif Bukan Penerima Upah (BPU) per 3 November 2025 di BPJS Ketenagakerjaan Depok adalah 50,9 ribu orang,” katanya.

Sambil melihat data BPS tentang Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Agustus 2025, ia berkata, “47,89 juta pekerja tidak penuh itu tidak sekadar angka statistik. Itu peringatan keras. Mereka bekerja, tapi tidak pernah aman.”

Baca juga: Peran Orangtua Dinilai Penting Untuk Cegah Anak Kecanduan Gawai

Ia menegaskan mengapa Agen Perisai menjadi garda terdepan.

“Pekerja informal tidak punya fleksibilitas waktu untuk datang ke kantor. Agen Perisailah yang mendatangi mereka. Kalau kita menunggu, mereka tidak akan pernah terlindungi,” tutur Nova.

Berdasarkan data terbaru dari BPS Kota Depok, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di kota ini per Agustus 2025 adalah 6,52 persen.

Angka ini merupakan bagian dari indikator makro terkini Kota Depok yang dirilis oleh BPS. Angka TPT Depok 6,52 persen ini lebih rendah dibandingkan TPT Jawa Barat secara keseluruhan pada periode yang sama, yaitu 6,77 persen.

“Arinya kebutuhan perlindungan bagi pekerja rentan pun semakin mendesak. Program kami ada. Tapi jangkauannya hanya seluas tangan manusia. Maka tangan itu harus diperbanyak melalui Agen Perisai,” paparnya.

Pekerja Informal Terus Rapuh

Dari data BPS dan suara lapangan, terlihat bahwa kerentanan pekerja informal bukan semata urusan administrasi. Ada retakan-retakan besar yang membuat mereka terus berada di tepi risiko.

Pasar kerja bergerak semakin cair, jam kerja tak lagi pasti, pendapatan naik-turun tanpa pola, sementara perlindungan sosial tidak mampu mengikuti kecepatannya. Pekerja informal bertambah cepat, tetapi jaminan sosial merangkak pelan mengejar.

Perempuan menjadi perimeter terluar dari kerentanan itu. Mereka bekerja dengan jam paling fluktuatif, sering terhenti oleh tugas domestik, dan pendapatannya paling mudah jatuh ketika ada hambatan kecil saja.

Di atas semua itu, kota-kota seperti Depok makin keras. Tingkat pengangguran terbuka di wilayah perkotaan jauh lebih tinggi dibanding pedesaan, biaya hidup terus merayap naik, dan tekanan urban memperbanyak kelompok rentan.

Baca juga: Kapolda dan Kapolres se-Indonesia Ngumpul di Bogor, Ada Apa?

Dalam kombinasi faktor-faktor inilah para pekerja informal terus berada di ujung tanduk—bukan karena mereka tidak bekerja, tetapi karena struktur yang menopang mereka rapuh sejak awal.

Dan di tengah keretakan struktural itulah peran tiga Agen Perisai—Yuliana, Soeharmoko, dan Primasari—menjadi penyambung antara negara dan realitas. Mereka hadir di tempat-tempat di mana data sering terlambat mencatat dan kebijakan belum sepenuhnya menjangkau.

Namun ketiganya tidak mungkin bekerja sendirian. Sebab 47,89 juta pekerja rapuh bukan angka kecil, itu fondasi pasar kerja Indonesia hari ini.

Tiga Jejak, Satu Makna Perlindungan

Pada akhirnya, kisah Yuliana, Soeharmoko, dan Primasari memperlihatkan satu fakta yang kerap terlupakan dalam laporan statistik: bahwa perlindungan sosial tidak lahir di ruang rapat, tetapi di ruang-ruang kecil tempat kehidupan berlangsung apa adanya.

Yuliana melangkah dari duka yang terlalu tiba-tiba. Kehilangan Ade bukan hanya kehilangan kepala keluarga, tetapi hilangnya benteng terakhir yang melindungi dua anak gadisnya dari kerasnya hidup. Namun justru dari ruang kehilangan itulah, ia menemukan alasan untuk menjaga keluarga lain agar tidak terperosok ke jurang yang sama.

Soeharmoko bergerak dari sudut-sudut kota yang tidak pernah masuk headline. Dari bangku warung kopi hingga gang kumuh yang tak ada dalam peta administrasi, ia memotret kenyataan paling jujur tentang pekerja rentan: mereka bekerja tanpa payung, berharap tanpa jaminan, dan bertahan tanpa kepastian. Di tangan Soeharmoko, data BPS berubah menjadi wajah-wajah nyata yang menunggu perlindungan.

Primasari, di Sukmajaya, Depok bekerja tanpa banyak sorotan. Ia tak punya panggung, tetapi punya kepekaan yang tak banyak orang miliki—menyusuri lorong-lorong sempit, menyapa pekerja harian yang sering hilang dari radar kebijakan. Baginya, setiap nama yang berhasil ia daftarkan adalah satu keluarga yang mendapat kesempatan baru untuk selamat.

Tiga orang dengan cerita yang berbeda, tetapi semuanya bertemu pada satu titik: kesadaran bahwa negara tidak selalu hadir tepat waktu. Sering kali, mereka yang tidak tercatat harus menunggu terlalu lama untuk dilihat.

Baca juga: RSUI Lakukan Edukasi Deteksi Dini Kanker Prostat

Dan di situlah Yuliana, Soeharmoko, dan Primasari berdiri—mengisi jeda itu. Mengambil peran yang seharusnya lebih dulu datang. Menjaga mereka yang bekerja di bawah bayang-bayang risiko.

Di tengah 47,89 juta pekerja rentan, langkah mereka mungkin hanya serpihan kecil dalam skala nasional. Namun di rumah-rumah yang pernah merasakan kehilangan, di keluarga yang hidup dari upah harian, di anak-anak yang menunggu orang tuanya pulang dengan selamat—langkah-langkah itu terasa seperti nyala yang menyelamatkan.

Karena bagi mereka, perlindungan sosial bukan sekadar program. Ia adalah upaya memastikan satu hal yang sangat sederhana, tetapi sangat penting. Tidak ada keluarga yang jatuh sendirian lagi. (***)

Penulis: Oleh: Djoni Satria/Wartawan Senior