Home > Nasional

Naif! Anggaran Pembangunan Masjid Agung Dibatalkan, Kental Politisasi

Pertanyaan lalu memenuhi kepalaku: bagaimana mungkin sebuah kota dengan jumlah penduduk muslim mayoritas, memiliki ratusan masjid lingkungan, tapi tak punya satu pun masjid yang bisa disebut Masjid Agung?
Penulis: Djoni Satria/Wartawan Senior. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA) 
Penulis: Djoni Satria/Wartawan Senior. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Jumat siang itu, matahari menggantung tepat di atas langit Margonda Raya, Depok. Asap knalpot, suara klakson, dan deru kendaraan berpadu menjadi satu kesibukan kota yang tak pernah benar-benar tidur.

Di sampingku berjalan seorang sahabat namanya Bimo Raditya, teman lama sejak SMA di Jogja yang datang jauh-jauh ke Depok untuk berkunjung.

Ia menginap di rumah, ingin melepas rindu, sambil penasaran seperti apa kota Depok yang selama ini cuma dia lihat dari lini masa media sosial. Bimo ingin melihat seperti apa sebenarnya kota tempat aku tinggal.

Kami menyusuri trotoar Margonda, jalan paling padat sekaligus paling hidup di kota ini. Di kanan-kiri berdiri megah pusat perbelanjaan, apartemen, ruko, kedai kopi, toko buku, kampus ternama, dan papan reklame yang seakan tak memberi ruang kosong bagi langit.

Bimo tersenyum kecil sambil berkata, “Depok udah kayak Jakarta kecil ya, bro. Ramai, padat, dan modern.”

Aku tersenyum kecil. Setelah puas berputar-putar menyusuri jalan Margonda, jantung kota Depok yang kini penuh gedung tinggi, mal, dan apartemen, waktu menunjukkan pukul 11.37 WIB.

Matahari semakin tinggi, kumandang lantunan ayat suci Al-Qur’an dari masjid-masjid sekitar kampung mulai terdengar bersahutan.

Tapi beberapa langkah kemudian, sebuah pertanyaan sederhana jatuh dari mulutnya, dan membuat langkahku terhenti.

“Bro, katanya sambil menepuk bahuku, sebentar lagi kita Jumatan. Sholatnya di Masjid Agung Kota Depok aja yuk, sekalian gue mau foto di sana, bukti pernah sholat di masjid kebanggaan kota lo.”

Bimo seakan sudah membayangkan megah dan indahnya arsitektur Masjid Agung Kota Depok.

Aku terdiam. Sunyi mendadak lebih berisik dari suara klakson sopir angkot yang meminta jalan. Aku menoleh padanya dan berkata pelan, “Bim Depok nggak punya Masjid Agung.”

Ia menatapku, menunggu aku tertawa tapi aku tidak. “Serius lo?” tanyanya. Aku mengangguk.

Dan, di tengah hiruk-pikuk itu, aku sadar betapa anehnya kota ini: Depok hampir punya segalanya, kecuali sebuah Masjid Agung.

Tak ada satupun bagunan masjid di sepanjang Jalan Margonda Raya. Sebelah kanan pepohonan hijau, yang rencananya akan dibangun Masjid Al Quds di lahan bekas SDN Pondok Cina. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA) 
Tak ada satupun bagunan masjid di sepanjang Jalan Margonda Raya. Sebelah kanan pepohonan hijau, yang rencananya akan dibangun Masjid Al Quds di lahan bekas SDN Pondok Cina. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

Kota yang Tumbuh dari Beton, Tapi Tak Punya Rumah Sujud Bersama

Depok bukan desa. Kota ini resmi berdiri sebagai kota otonom sejak 20 April 1999, berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1999. Sebelumnya, Depok telah menjadi kota administratif sejak 18 Maret 1982.

Berusia menginjak 26 tahun, Depok dihuni lebih dari dua juta jiwa. Tepatnya 2.204.664 jiwa pada semester I tahun 2025. Data ini tercatat dalam Data Kependudukan Bersih (DKB) Semester I 2025 yang dirilis oleh Pemerintah Kota Depok.

Margonda, nama jalan yang aku susuri bersama Bimo menjadi urat nadi yang tak pernah sepi, dipenuhi kampus, rumah sakit, restoran, hotel, terminal, ruko, dan pusat-pusat perbelanjaan. Depok pun punya stadion, alun-alun dan taman terpadu.

Jalan Margonda Raya memanjang sepanjang 6,5 kilometer. Jalan ini merupakan salah satu jalan nasional yang menghubungkan Kota Depok dengan DKI Jakarta dan Kabupaten Bogor, serta menjadi pusat aktivitas penting bagi masyarakat Depok.

Tapi lucunya, di tengah semua itu, ada satu ruang kosong bukan fisik, tapi makna. Kota ini tidak punya satu masjid yang secara resmi menjadi simbol utama: Masjid Agung Kota Depok.

Pertanyaan lalu memenuhi kepalaku: bagaimana mungkin sebuah kota dengan jumlah penduduk muslim mayoritas, memiliki ratusan masjid lingkungan, tapi tak punya satu pun masjid yang bisa disebut Masjid Agung?

Di kota lain, tanya saja: Masjid Agung Bandung? Ada, di alun-alun. Masjid Agung Bogor? Di tengah kota berdiri sejak zaman kolonial. Bekasi, Sukabumi, Cianjur, Yogyakarta, Semarang, dan kota-kota lainnya di negeri ini, semua memiliki masjid agung atau raya. Depok? Tidak punya!

Yang Depok punya memang banyak masjid besar, termasuk Masjid Dian Al-Mahri-Kubah Emas yang mewah, di Jalan Meruyung Raya, Kecamatan Limo, Kota Depok.

Tapi itu milik yayasan. Ia bukan milik kota. Ia tidak dinamai dan dimandatkan sebagai Masjid Agung Kota Depok, tempat khutbah resmi pemerintah, pusat syiar, pusat identitas kota.

Masjid UI? Itu milik kampus. Masjid Al-Falah GDC? Besar, tapi bukan masjid agung formal. Tidak ada masjid yang berdiri atas nama seluruh warga Depok, yang bisa dengan bangga disebut, “Inilah Masjid Agung Kota Depok.”

Ada juga masjid yang megah di kawasan Perumahan Podomoro, Tapos, namanya Masjid AT-Thohir. Tapi itu, masjid milik keluarga Erick Thohir.

Apakah Kota Wajib Punya Masjid Agung?

Secara hukum, tidak ada pasal eksplisit yang mewajibkan satu kota memiliki masjid agung. Namun ada dasar yang jauh lebih penting dari sekadar gedung: identitas, pelayanan publik, dan ruang spiritual.

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sebuah kota harus memenuhi dua hal utama. Pertama yaitu kewilayahan; jumlah penduduk, luas, batas administrasi. Kemudian yang kedua ialah kemampuan daerah; pelayanan publik, sosial, ekonomi, budaya, termasuk pembentukan identitas warga.

Lalu Permendagri Nomor 24 Tahun 2024 menegaskan bahwa kota harus memiliki ruang publik keagamaan dan fasilitas yang memperkuat karakter urban.

Artinya, walaupun undang-undang tidak menyebut “Masjid Agung” secara eksplisit, jiwa sebuah kota memang menuntut adanya ruang bersama untuk bersujud, ruang di mana warga merasa menjadi bagian dari satu kota, satu rumah, satu kiblat.

Megahnya disain Masjid Al Quds Margonda Depok yang anggaran pembangunannya dibatalkan Wali Kota Depok, Supian Suri. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA) 
Megahnya disain Masjid Al Quds Margonda Depok yang anggaran pembangunannya dibatalkan Wali Kota Depok, Supian Suri. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

Janji yang Mengapung, Masjid yang Tak Pernah Menjejak Tanah

Rencana pembangunan Masjid Agung Depok sebenarnya pernah muncul. Di era Wali Kota Mohammad Idris, bersama DPRD Depok, ketika itu sepakat untuk memulai penyusunan lahan dan perencanaan.

Margonda sempat dilirik menjadi lokasi. Tepatnya di bekas lahan SDN Pondok Cina, tak jauh dari mal Margocity. Posisi yang pas untuk di bangun masjid, karena di kemacetan dan keramaian disepanjang jalan tersebut tidak ada satupun masjid, sehingga tak pernah terdengar suara adzan.

Kala itu, Mohammad Idris meloby Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil (RK). Gayung bersambut, awal 2024, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar mengucurkan dana hibah sebesar Rp 20 miliar untuk pembangunan Masjid Jami Al Quds Margonda.

Perencanaan dibuat, disain ikonik masjid langsung digambar dari tangan RK. Umat Muslim Kota Depok pun menyambutnya dengan suka cita.

Tapi rencana itu beku di udara. Anggaran Rp 20 miliar ditarik, setelah cukup marak demo 'terselubung' penolakan pengusuran gedung SDN Pondok Cina oleh segelintir orang tua murid yang menolak pindah yang di di dukung orang-orang partai PDIP dan PSI.

Tetap merasa harus bertanggungjawab, Mohammad Idris kemudian menganggarkan dana sebesar Rp 20 miliar untuk pelaksnaan pembangunan pada 2025.

Mohammad Idris yang didampingi Sekretaris Daerah (Sekda), Supian Suri mendatangi DPRD Kota Depok untuk meminta persetujuan anggaran pembangunan Masjid Al Quds Margonda. DPRD Kota Depok juga setuju pembangunan masjid di lahan SDN Pondok Cina yang sudah tak terpakai.

Kini eranya Supian Suri (SS) dan Chandra Rahmansyah yang pada 20 Februari 2025 lalu resmi menjabat Walikota dan Wakil Walikota Depok, hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024 lalu.

Betapa kagetnya umat Islam, diawal kekuasaannya, Supian Suri justru mengumumkan pembatalan pembangunan Masjid Al Quds Margoda di lahan bekas SDN Pondok Cina dan akan membangun Rumah Kreatif Anak Berkenbutuhan Khusus. Dan, pembatalan juga didikung DPRD Kota Depok.

Miris! Info yang diperoleh, Supian Suri ditekan partai pedukung untuk membatalkan pembangunan masjid karena merupakan program pemerintahan yang didukung PKS, yang merupakan musuh dalam perhelatan PIlkada Kota Depok.

Konsep pembangunan berkelanjutan yang kerap didengung-dengungkan Presiden Prabowo Subianto pun tak digubris. Supian Suri dan sekutunya tetap 'menggusur' anggaran pembangunan masjid. Padahal, anggarannya sudah sedikit keluar untuk perencanaan, disain dan DED.

Pro kontra pun bermunculan. Yang pro, sebagian besar merupakan partai pendukung mengatakan pembangunan Masjid Agung tidak dibatalkan hanya dipindah lokasinya.

Yang kontra mengatakan, warga membutuhkan keberadaan masjid di lahan SDN Pondok Cina yang sudah tak terpakai. Bukan ditempat lain. Dan, ini sudah janji pemerintah. Kalau tidak jadi dibangun, sama saja Pemkot Depok telah melakukan pembohongan publik alias PHP (Pemberi Harapan Palsu-red)

Naif! membangun rumah Allah, kok dipolitisasi. Membangun masjid seperti 'terpaksa', tidak ada keiklasan. Apalagi Supian Suri seperti 'menjilat ludahnya' sendiri!.

Media lokal sering menuliskan kalimat: “Depok perlu Masjid Agung sebagai ikon.” Sayangnya, Masjid Agung masih hanya tinggal sebagai penggalan kalimat. Kita seperti menagih janji yang tertunda dan malah mungkin hilang tertiup angin politik.

Beberapa alternatif lokasi pernah disebut: lahan dekat UIII (Universitas Islam Internasional Indonesia), Jalan Raya Bogor, Jatijajar, Tapos, Kawasan GDC (Grand Depok City).

Namun hingga kini, tidak ada batu pertama. Tidak ada sayembara arsitektur. Tidak ada papan nama proyek. Wacana itu seperti asap, terlihat sejenak, lalu menghilang di antara klakson dan semrawutnya baliho politik.

*Jika Banyak Masjid di Depok, Kenapa Masih Perlu Masjid Agung?*

Betul, Depok punya banyak masjid. Tapi Masjid Agung berbeda. Ia bukan soal besar kecil, tapi soal identitas kota. Masjid Agung adalah: rumah sujud bersama warga lintas latar belakang, tempat khutbah utama kota pada hari besar Islam, tempat pemimpin berdiri sejajar dengan rakyat tanpa pangkat, simbol bahwa kota ini punya ruang untuk doa, bukan hanya ruang untuk belanja.

Kota lain sudah lama mengerti itu. Yogyakarta punya Masjid Gedhe Kauman. Bandung punya Masjid Raya. Bogor punya Masjid Agung di sebelah alun-alun. Bahkan Kabupaten Sukoharjo dan Batang punya masjid agung. Tapi Depok dengan penduduk lebih dari 2 juta jiwa, tidak ada sama sekali.

Belajar dari Quba: Kota Dimulai dari Sujud

Sebagai refleksi, saat Nabi Muhammad SAW hijrah dari Makkah ke Madinah, beliau tiba bukan sebagai pemimpin kaya atau pejabat. Tapi sebagai pendatang yang diusir dari tanah kelahirannya, Makkah. Apa bangunan pertama yang beliau dirikan? Bukan istana. Bukan pasar. Tapi sebuah Masjid yang bernama Masjid Quba.

Masjid itu dibangun hanya di atas tanah kebun kurma. Bahkan Rasulullah SAW ikut memikul batu, hingga debu menempel pada pakaian beliau. Kenapa? Karena peradaban dimulai bukan dari menara beton, tapi dari tempat bersujud.

Depok mungkin telah membangun berkilo-kilo meter jalan, taman kota, dan alun-alun serta masih banyak lagi sarana dan prasarana bagi warganya. Tapi tanpa satu ruang sujud bersama yang menyatukan seluruh warga, kota ini selalu terasa seperti rumah besar tanpa ruang tamu, ramai, tapi tak sepenuhnya pulang.

Saat Kota Ingin Dikenang

Pada akhirnya, sebuah kota tidak hanya diukur dari gedung yang menjulang atau jalan raya yang mulus. Tidak hanya dikenang karena pesatnya pembangunan di sana sini. Kota dikenang dari tempat-tempat yang mengajarkan warganya untuk menunduk, bersujud, dan merasa setara.

Depok boleh bangga punya universitas ternama bahkan universitas yang menyandang universitas internasional, mal yang ramai, flyover, dan apartemen tinggi. Namun selama tak ada masjid agung tempat semua hati pulang, kota ini masih menyisakan satu ruang kosong, ruang yang seharusnya diisi oleh doa dan kebersamaan.

Semoga suatu hari nanti, ketika sahabat dari jauh bertanya, “Di mana Masjid Agung kota ini?”, kita tak lagi diam. Kita bisa tersenyum, mengangkat tangan, dan menunjuk ke arah sebuah rumah Allah SWT yang berdiri bukan hanya di atas tanah, tetapi juga di atas keinginan bersama sebuah kota.

Kelak, ketika sahabat itu datang lagi, giliran aku menepuk bahunya dan berkata, “Ayo, kita bersama Jumatan. Masjid Agung kotaku sudah berdiri.” (***)

Penulis: Djoni Satria/Wartawan Senior

Image
rusdy nurdiansyah

rusdynurdiansyah69@gmail.com

× Image