Implementasi PP Tunas Perlu Kolaborasi Multistakeholder di Lingkungan Sekitar Anak

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK - Hadirnya Peraturan Pemerintah nomor 17 tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik Dalam Perlindungan Anak (PP Tunas) merupakan langkah penting. Namun belum cukup untuk menjamin perlindungan anak di ruang digital.
Keamanan anak menuntut keterlibatan aktif dari multistakeholder, mulai dari penyedia platform digital yang bertanggung jawab, pendampingan orang tua, hingga komunitas yang berkomitmen menjaga ekosistem digital yang aman dan sehat.
“Yang ingin kami dorong adalah bagaimana PP Tunas ini dipahami dan diterapkan di daerah, sekolah, pesantren dan lingkungan pendidikan lainnya. Orang tua juga perlu paham, bukan sekadar menyerahkan semuanya ke alat atau teknologi,” jelas Staf Khusus Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) Aida Rezalina dalam DigiWeek 2025 baru-baru ini.
PP Tunas merupakan amanat dari revisi UU ITE tahun 2024 yang menambahkan pasal terkait perlindungan anak. Regulasi ini lahir sebagai respons atas meningkatnya eksploitasi anak di ruang digital, mulai dari kekerasan berbasis gender, viktimisasi, pornografi, perundungan, hingga paparan konten yang tidak sesuai usia.
Meskipun belum mengatur aspek teknis, Aida menjelaskan PP ini sudah mencakup langkah mitigasi, seperti kewajiban platform digital untuk membantu mengidentifikasi dan mengelola risiko paparan konten tidak layak untuk anak. Selain Itu, Komdigi juga memberikan kewajiban kepada platform untuk melakukan edukasi terkait pemakaian platform dengan bijak.
Sebagai bagian dari upaya perlindungan anak, Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak (PPPA) bersama dengan kementerian lain juga sedang menyusun Surat Keputusan Bersama (SKB). Di saat yang sama, roadmap perlindungan anak di ranah digital juga tengah difinalisasi untuk segera disosialisasikan ke publik.
Beberapa kementerian yang terlibat dalam proses ini antara lain Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen), Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Analis Kebijakan dan Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Sharfina Indrayadi menegaskan pentingnya peran aktif seluruh elemen masyarakat terkait perlindungan anak di ruang digital. Berdasarkan kriteria Kementerian PPPA, anak adalah individu berusia 0 - 17 tahun atau usia sekolah. Oleh karena itu, peran sekolah, keluarga, dan komunitas menjadi sangat strategis dalam membangun kesadaran digital anak.
“Langkah berikutnya adalah mendorong kesadaran kolektif masyarakat untuk bersama-sama menjaga keamanan anak di ruang digital. Dibutuhkan regulasi teknis yang mengatur standar perlindungan wajib di platform digital. Bersamaan dengan itu, SKB dan roadmap perlindungan anak perlu mendapat dukungan penuh dari kementerian yang menaungi institusi pendidikan agar perlindungan bisa dilakukan secara menyeluruh,” jelas Sharfina.
Sejalan dengan hal tersebut, Senior Director of Advocacy Campaign & Government Relations Save the Children Indonesia, Tata Sudrajat menegaskan, isu perlindungan anak adalah soal pemenuhan hak. Di ruang digital, anak sering menghadapi dilema antara hak partisipasi (seperti kebebasan berekspresi dan mengakses informasi) dan hak atas perlindungan, terutama terkait keamanan dan keselamatan mereka di ruang digital.
“Kesulitan utama dalam menangani kejahatan digital adalah sulitnya mendeteksi pelanggaran terhadap keamanan anak. Salah satu bentuk perlindungan yang bisa dilakukan adalah dengan membatasi (screen time),” ungkapnya.
Save The Children mencatat lonjakan signifikan dalam jumlah anak di bawah usia 17 tahun yang telah mengakses internet. Lebih dari separuhnya sudah memiliki ponsel pribadi. Fenomena ini tidak hanya menjadi perhatian di wilayah perkotaan, tapi juga muncul di daerah pedalaman, mencerminkan luasnya jangkauan isu perlindungan anak di ruang digital. Saat ini,. jumlah anak di Indonesia mencapai sekitar 80 juta.
Menanggapi hal tersebut, Tata menjelaskan bahwa perlindungan anak di ruang digital membutuhkan pendekatan berlapis. Pendekatan promotif dilakukan melalui edukasi dan sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran anak, orang tua, dan komunitas akan pentingnya keselamatan anak di ruang digital.
Pendekatan preventif mencakup pencegahan adiksi digital, flagging (pelaporan) konten berbahaya, serta penyediaan layanan konseling. Sementara itu, pendekatan kuratif diterapkan ketika anak menjadi korban kekerasan digital, dengan menyediakan layanan terapi dan rehabilitasi sosial.
Sementara itu, Head of Public Policy Meta Indonesia, Bernie Moestafa menyambut positif hadirnya PP Tunas dan menegaskan komitmen Meta dalam mendukung perlindungan anak di platform digital.
“Ketika berdiskusi dengan orang tua, tantangan utama yang mereka hadapi dalam melindungi anak di ruang digital mencakup tiga hal, yaitu jenis konten yang diakses anak, siapa saja yang bisa menghubungi mereka, serta durasi waktu yang dihabiskan di internet,” tutupnya.
Untuk menjawab tantangan ini, Meta telah menerapkan berbagai inisiatif perlindungan, seperti sistem content filtering (penyaringan konten) hingga fiturteen accounts yang membatasi interaksi serta akses konten yang bisa diakses anak, sekaligus memperkuat peran orang tua dalam mengawasi aktivitas digital anak mereka. ***