Kenapa Ibu Lebih Berhak Mendapatkan Hak Asuh Anak? Belajar dari Kasus LS yang Anaknya Diambil Mantan Suami

RUZKA REPUBLIKA NETWORK - LS mengalami penderitaan mendalam setelah anak keduanya, GI, dirampas secara paksa oleh mantan suaminya, Danny Septriadi Djayaprawira, pada 2 Juli 2023. Padahal, sejak 2019, hak asuh GI telah disepakati berada di tangan LS sesuai perjanjian notaris.
Sebagai seorang ibu, LS merasa lebih berhak mengasuh anaknya, namun sejak diasuh oleh Danny, GI mengalami perubahan drastis—dari anak ceria dan berprestasi menjadi lebih murung, dengan nilai akademik yang menurun. LS semakin khawatir setelah mengetahui bahwa GI diberi obat antidepresan tanpa sepengetahuannya. Selain itu, ia juga dilarang bertemu dengan GI, bahkan saat anaknya sakit, meski Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 menjamin hak ibu untuk tetap berinteraksi dengan anaknya.
LS telah berupaya mencari keadilan dengan melapor ke KPAI dan Polres Jakarta Utara, namun belum ada tindakan nyata dari aparat penegak hukum. Ia kecewa dan mempertanyakan komitmen hukum dalam melindungi hak ibu serta kesejahteraan anak. Kini, ia berjuang melalui jalur hukum demi mendapatkan kembali hak asuh GI agar anaknya bisa tumbuh dalam lingkungan yang sehat tanpa ketergantungan pada obat-obatan. Perjuangan LS juga menjadi cerminan bagi banyak ibu di Indonesia yang menghadapi kasus serupa, mengingat hak asuh bukan sekadar persoalan hukum, tetapi juga menyangkut masa depan dan kesejahteraan anak.
Mengapa Hak Asuk Anak Sering Kali Diberikan kepada Ibu?
Secara aturan hukum berdasarkan KHI Pasal 105, hak asuh anak diberikan kepada ibu, utamanya bila anak masih berusia 12 tahun. Menurut Bunda Lucy Lidiawati Santioso, S.Psi., M.H., Psikolog dari Klinik Smart Talent mengungkapkan, aturan pemberian hak asuh kepada ibu bukan tanpa alasan. Hal ini karena berbagai pertimbangan, termasuk aspek psikologis dan sosial anak.
Beberapa alasan itu antara lain:
1. Ikatan Emosional yang Kuat Antara Ibu dan Anak
Ibu sering kali memiliki ikatan emosional yang lebih kuat dengan anak, terutama pada tahun-tahun awal kehidupan. Proses seperti menyusui dan perawatan yang diberikan pada awal kehidupan anak memainkan peran penting dalam membangun ikatan ini, yang cenderung berlanjut sepanjang masa perkembangan anak. Penelitian menunjukkan bahwa hubungan emosional yang kuat antara ibu dan anak berperan dalam pengasuhan dan kesejahteraan psikologis anak (Bowlby, 1988).
2. Peran Ibu dalam Pengasuhan Awal
Secara tradisional, ibu cenderung memiliki peran utama dalam pengasuhan anak, terutama dalam perawatan sehari-hari, seperti memberi makan, mengganti popok, dan memberikan kenyamanan emosional. Banyak studi menunjukkan bahwa peran ibu dalam pengasuhan anak, khususnya pada masa bayi dan balita, memengaruhi kualitas hubungan ibu-anak dan kesejahteraan anak secara keseluruhan (Cowan & Cowan, 2000).
3. Stabilitas Emosional dan Lingkungan yang Aman
Ibu sering dipandang sebagai orang yang lebih mampu menyediakan stabilitas emosional dan lingkungan yang aman bagi anak setelah perceraian. Hal ini terutama penting dalam masa transisi yang penuh tekanan, seperti perceraian, di mana anak membutuhkan rasa aman dan perhatian yang konsisten dari orang tua mereka (Lamb, 2010).
4. Norma Sosial dan Budaya
Dalam banyak budaya, peran ibu dalam mengasuh anak masih dianggap lebih penting dibandingkan dengan peran ayah, terutama pada tahun-tahun awal kehidupan anak. Norma sosial ini mempengaruhi keputusan pengadilan atau pihak berwenang dalam memberikan hak asuh. Meski tren ini mulai berubah seiring dengan meningkatnya kesetaraan gender, dalam banyak kasus, ibu tetap dipandang sebagai pengasuh utama.-
Dampak Psikologis pada Anak Jika Hak Asuh Jatuh ke Tangan Ayah
Bagaimana bila hak asuh anak jatuh ke tangan ayah? Bila ayah memiliki waktu yang cukup untuk mengasuh anak, juga memiliki kemampuan untuk membesarkan anaknya mungkin tidak akan menimbulkan masalah. Lain halnya bila ayah itu sibuk dan tidak memiliki waktu untuk anak, maka akan ada beberapa potensi dampak psikologis pada anak, yaitu:
1. Kurangnya Keterlibatan Emosional
Anak mungkin merasa kurang mendapat perhatian emosional yang dibutuhkan, terutama jika ayah tidak dapat memberikan waktu dan perhatian yang cukup. Keterlibatan emosional yang kurang dapat memengaruhi rasa aman dan harga diri anak.
2. Kesulitan dalam Membentuk Ikatan
Pengasuhan yang tidak terlibat secara aktif dapat menghambat pembentukan ikatan emosional yang kuat antara anak dan ayah. Hal ini dapat memengaruhi kemampuan anak untuk membangun hubungan yang sehat di kemudian hari.
3. Kebingungannya tentang Peran Sosial
Jika ayah tidak terlibat secara penuh dalam kehidupan sehari-hari anak, anak mungkin mengalami kebingungan dalam memahami peran ayah dan ibu dalam keluarga, yang dapat mengganggu pemahaman mereka tentang hubungan sosial dan gender.
Untuk itu, sudah jelas kan mengapa hak asuh anak sering kali diberikan kepada ibu daripada ayah.