Ibu ini Menggugat Usai Anaknya Dirampas, Ditelantarkan, dan Berujung Depresi
RUZKA REPUBLIKA NETWORK - Kasih Ibu sepanjang masa, tak lekang oleh waktu dan terbatas oleh jarak. Pepatah ini tepat dilekatkan pada seorang ibu berisial LS yang telah berkali-kali dizalimi mantan suami bernama Danny Septriadi Djayaprawira.(54)
Itu terjadi saat anak keduanya berinisial GI, dirampas hak asuhnya secara paksa pada 2 Juli 2023 di sebuah rumah makan di Kelapa Gading, dimana anak tsb masih dalam masa pengasuhan ibunya selama dari bayi sedangkan Danny sendiri tidak memegang hak asuh secara sah. “Saat itu, dia tiba-tiba datang dan memaksa GI untuk ikut sama dia hingga terjadi keributan dan membuat GI menangis,” ujarnya. Tindakan ini telah LS laporkan ke Polda Metro Jaya dengan nomor laporan STTLP/B/3084/VI/2024/SPKT/POLDA METRO JAYA.
Secara tidak langsung, tindakan Danny itu sudah melanggar hukum karena telah merampas hak asuh GI dari LS. Padahal, sejak 2019, mantan suami yang saat itu sudah pisah ranjang sudah bersepakat di depan penegak hukum, yaitu notaris di Jakarta. “Dia sendiri tanda tangan dan sepakat dengan perjanjian kalau anak kedua diasuh oleh saya,” ungkapnya seraya menujukkan surat dari notaris.
Dalam surat notaris yang diperlihatkan ke media, ada sebuah Pasal 3 yang menguatkan pernyataan LS. "Untuk memenuhi ketentuan Pasal 3 di atas, maka Pihak Pertama memberi kuasa dan/atau persetujuan kepada anak-anak tersebut yang masih di bawah umur (belum dewasa) diwakili oleh pihak kedua selaku ibu (selanjutnya disebut pihak kedua)."
Selain berdasarkan aturan hukum, saat kedua orangtua berpisah, hak asuh diutamakan jatuh pada ibu. Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 102 K/Sip/1973 disebutkan bahwa ibu lebih diutamakan dalam hak asuh anak dibawah umur. Juga dalam pasal 14 no 35 thn 2014 disebutkan bahwa Anak berhak bertemu dengan ibunya walaupun dalam keadaan orangtua bercerai.
Apalagi melihat latar belakang dan pengalaman LS dalam merawat dan mengasuh GI dari kecil. Sebagai seseorang dengan latar belakang pendidik dan psikolog, LS punya ilmu yang handal untuk mendidik anak. Pengalaman mendidik GI sejak kecil telah membuktikan hal itu. LS Mengaku berusaha memberikan yang terbaik demi tumbuh kembang GI yang sehat dan cerdas. Ia kerap mendidik anaknya dengan penuh disiplin. “Saya ajari anak bagaimana mengatur waktu sehari-hari. Setelah pulang sekolah, anak istirahat dulu, kemudian mengerjakan tugas-tugasnya sampai selesai, baru setelah itu boleh main. Semua itu biasa dilakukan secara rutin sejak kecil.” Tak lupa, ia juga memilihkan tempat les atau kursus agar potensi anaknya bisa berkembang optimal, selain juga mengajarkan anak tata krama dan sopan santun. LS juga memberikan menu makanan terbaik dengan memasaknya di rumah. “Saya tidak membiasakan anak makan makanan tak sehat seperti junkfood atau pesan makanan lewat aplikasi sembarangan,” ujarnya.
Ini berbeda dengan mantan suaminya yang pola asuhnya terlalu bebas (permisif). “Anak dibiarkan bebas tanpa aturan hingga tidak disiplin, ia membiarkan anak bebas bermain game berlama-lama. Saya pernah telepon jam 12 siang, tapi anaknya belum bangun.” Apalagi pengawasan sang mantan terhadap anak dinilai kurang. “Bagaimana mau mengurus anak, kalau dia pergi pagi pulang juga pagi,” katanya.
LS mengungkapkan bagaimana kerja kerasnya sebagai ibu membuahkan hasil manis. GI tumbuh sehat dan cerdas. “Ia mendapatkan beasiswa penuh dari sekolahnya yang bertaraf internasional yang dikenal ketat persaingannya,” ungkapnya. Bahkan, ia banyak memperoleh prestasi dan mengharumkan nama bangsa. “Ia banyak memperoleh medali, bahkan sempat mewakili Indonesia di tingkat dunia.”
Ini berbeda saat GI diasuh oleh mantan suaminya, prestasinya menurun drastis.
Bahkan, karakternya pun kini lebih banyak berubah. “GI menjadi lebih sensitif, mudah marah, ucapnya. “Saya pernah melakukan v-call, GI tampak berteriak-teriak mengatakan ‘Mama Jahat’
Ia menduga ada yang tidak beres dengan perilaku aneh GI, hingga terbongkarlah fakta mengejutkan saat ia menelepon langsung Danny. Ternyata, anak perempuannya diberi obat Cipralex sejak Januari 2024. Obat itu diberikan setiap hari dengan dosis 10 mg dan itu akan diberikan selama 6 bulan lamanya. Cipralex sendiri adalah obat antidepresan yang masuk golongan obat keras. “Obat itu didapat berdasarkan resep dari seorang dokter bernama Fansiska Kaligis, dokter dari RS Cipto Mangunkusumo," ucapnya. Ls juga kaget karena baru mengetahui anaknya sudah ditangani oleh psikolog Kassandra Putranto selama 3-4 tahun yang lalu. Ia menyangkan terapi obat keras cipralex dan treatment dari psikiater Fransiska Kaligis tanpa sepengetahuannya sebagai pemegang hak asuh yang sah.
Berdasarkan penelusurannya, obat cipralex ini tidak direkomendasikan untuk anak seusia GI, dan dampaknya juga tidak main-main karena dapat mengakibatkan gagal ginjal, depresi dan ketergantungan. “Saya jelas syok karena bagaimana anak yang sebelumnya sehat dan cerdas dicekoki cipralex,” ungkapnya.
Tak hanya itu, Ls juga merasa komunikasi dan hubungan dengan buah hati yang dicintai ditutup rapat-rapat. Tindakan itu sangat merugikan karena melanggar hak-hak seorang ibu dan anak. Meski sudah berpisah, ibu berhak bertemu anak yang disayanginya sesuai dengan Pasal 14 UU 35/2014. “Sejak 2 Juli 2023 sampai sekarang, saya dilarang bertemu GI. Yang menyedihkan, saat sakit ia juga tidak boleh dijenguk barang sebentar saja. Semua jalur komunikasi diputus, bahkan untuk jalur komunikasi dengan keluarga besar saya,” ucapnya, “Whatsapp dan komunikasi telepon diblokir. Pernah, saya datang ke sekolah GI tapi malah dihalang-halangi oleh satpam padahal saya adalah ibu kandungnya dan punya hak asuh yang sah. Gara-gara kejadian itu, saya ke mana-mana membawa akta kelahiran GI,” ungkapnya.
Sebagai seorang ibu yang telah membesarkan GI, pemblokiran itu membuatnya sedih. “Ibu di mana pun pasti kangen dengan anaknya, begitu juga dengan anak pasti kangen dengan ibunya. Bayangkan bila anak tak bertemu ibunya, pasti tersiksa dan enggak mungkin anak benci dengan ibunya,” jelasnya.
Sebagai warga negara yang baik, Ls mencoba menempuh jalur hukum. LS berupaya membuat aduan ke beberapa pihak diantaranya BNN, KPAI dan juga PPA Polres Jakarta Utara. Sayangnya, aduannya ke KPAI dan juga ke Polres Jakarta Utara tidak ada tindak lanjut. Beberapa kali Ls mendatangi lembaga dan instansi terkait itu tidak didapat hasil yang baik. Ia semakin cemas karena khawatir kondisi GI semakin rusak oleh Danny Septriadi Djayaprawira oleh pola asuh dan pemberian obat tipe G jenis Cipralex.
"Saya sangat kecewa dengan KPAI dan Unit PPA Polres Jakarta Utara. Bolak-balik saya datangi lembaga dan polres itu, namun hasilnya tetap diputer-puter seakan-akan mereka mengulur waktu. Intinya itu, saya ingin adanya perlindungan terhadap Gl putri saya, namun yang saya dapati nol besar," ungkapnya.
Ls juga menyebut dirinya akan mengambil Gl untuk dibawa berobat dan dilakukan asesmen, namun lagi-lagi tidak digubris oleh KPAI dan Unit PPA Polres Jakarta Utara. "Kok malah saya disuruh tes psikolog forensik dulu, tapi itupun saya lakukan dan hasilnya saya malah dipertanyakan oleh RS dengan dasar apa saya mengajukan tes itu," terang Ls
Dengan suara lantang, ia menuntut kejelasan dan keadilan, tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk masa depan GI. Untuk itu, saat ini LS melakukan gugatan hukum untuk mendapatkan hak asuh anak keduanya. “Harapan dan tuntutan saya tidak banyak. Sebagai ibu, saya ingin GI mendapatkan pengasuhan terbaik dari orangtuanya. Saya ingin dia tumbuh menjadi anak sehat dan cerdas tanpa ketergantungan obat keras seperti dulu. Saya rindu dengan senyuman dan tingkahnya ceria seperti dulu,” ungkapnya.
Kasus ini membuka mata tidak hanya bagi Ls yang mencintai buah hatinya, tapi juga cerminan bagi setiap ibu di seluruh Indonesia yang mendambakan sistem perlindungan anak dan hak asuh di Indonesia. Ls berharap, perjuangannya dapat membuka mata banyak pihak bahwa hak asuh bukan sekadar soal hukum, tetapi juga menyangkut kesejahteraan seorang anak yang berhak mendapatkan pengasuhan terbaik.