Home > Kolom

Membangun Media Sosial, Menguatkan Pilar Komunikasi Lembaga Pemerintah

Media sosial menawarkan berbagai kelebihan yang tidak dimiliki media tradisional hingga harus dimanfaatkan oleh lembaga pemerintah
Media social saat ini lebih digandrungi Sumber:pixabay,
Media social saat ini lebih digandrungi Sumber:pixabay,

RUZKA REPUBLIKA NETWORK - Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Lain zaman, lain pula teknologi yang yang berkembang. Pepatah itu berlaku bagi pelaku kehumasan atau public relations sebagai jembatan komunikasi dari pemerintah kepada masyarakat. Jika dulu, humas mengundang langsung media massa seperti koran, majalah, radio, maupun televisi saat akan memberikan informasi penting, kini ada salah satu media baru yang pengaruhnya cukup kuat dan besar, media sosial. Media sosial menjadi platform baru yang digandrungi dengan cepat, terutama di kalangan generasi muda. Mereka adalah ‘masyarakat digital sejati’ yang hidupnya dikelilingi arus teknologi yang semakin deras. Mata dan jari jemari mereka banyak dihabiskan untuk berselancar di dunia maya.

Sebuah penelitian yang dipublikasikan oleh Crowdtap, Ipsos MediaCT, dan The Wall Street Journal pada 2014 yang melibatkan 839 responden dari usia 16 hingga 36 tahun menunjukkan, jumlah waktu yang dihabiskan khalayak untuk mengakses internet dan media sosial mencapai 6 jam 46 menit per hari, melebihi aktivitas untuk mengakses media tradisional seperti televisi, radio, atau media cetak (Nasrullah, 2015). Kemudian penelitian yang dilakukan Hootsuites dan We Are Social pada 2024, netizen di Indonesia menghabiskan waktu hingga 7 jam 38 menit per hari untuk internetan, dengan 3 jam 11 menit di antaranya dihabiskan untuk bermedia sosial.

Interaktivitas tinggi, respons cepat, jangkauan luas, dan mudah diakses di mana dan kapan saja lewat perangkat gadget, membuat posisi media sosial dilirik sebagai pilar baru bagi pelaku kehumasan lembaga pemerintah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kara Alaimo, seorang Associate Professor bidang Komunikasi di Universitas Fairleigh Dickinson. “Praktisi hubungan masyarakat di lembaga pemerintahan semakin sering menggunakan media sosial untuk berkomunikasi, membangun hubungan dengan konstituen, serta berupaya meningkatkan citra perusahaan maupun pimpinan mereka (Bertot, Jaeger, dan Hansen, 2012).

Masih menurut Alaimo dalam bukunya The Practice of Government Public Relations, yang diterbitkan pada 2021 dengan bab berjudul ”Harnessing Social Media Effectively on Behalf of Governments”, media sosial menawarkan potensi bagi pemerintah untuk meningkatkan partisipasi demokratis dengan mendorong masyarakat untuk berkontribusi dalam pembuatan kebijakan, bekerja sama dengan publik untuk memperbaiki layanan, mengumpulkan ide secara kolektif (crowdsourcing), dan meningkatkan transparansi (Bertot, Jaeger, Munson, & Glaisyer, 2010).

Tidak hanya itu, media sosial juga dapat membantu membangun kepercayaan terhadap pemerintah. Sebuah studi menemukan, orang-orang yang mengikuti atau menjadi penggemar lembaga pemerintah atau pejabat di media sosial, atau membaca blog yang ditulis oleh lembaga atau pejabat pemerintah, memiliki persepsi bahwa pemerintah lebih transparan dan lebih dapat dipercaya (Song & Lee, 2016).

Media sosial juga seolah menjadi penyambung lidah lembaga pemerintah atau pejabatnya kepada masyarakat. Melalui media sosial, "komunikasi dengan konstituen dapat menjadi lebih sering, terbuka, dan terarah" (Graham & Avery, 2013, hlm. 1).

MERANCANG STRATEGI MEDIA SOSIAL

Media sosial termasuk wadah bagi tim humas untuk melakukan komunikasi publik. Menurut Kelly Page Werder dalam Public Sector Communication and Strategic Communication Campaigns, komunikasi publik adalah komunikasi yang terjadi di ruang publik (Trenholm, 2014). Dalam konteks ruang publik, komunikasi ini ditandai oleh audiens heterogen dari banyak orang dengan topik yang mempengaruhi minat banyak orang. Komunikasi di ruang publik "mengimplikasikan proses komunikasi yang tidak satu-satu, tetapi melibatkan banyak orang dengan ide-ide yang berbeda dan bersifat kontinu dan dinamis".

Untuk berkomunikasi dengan publik di media sosial, perlu strategi khusus agar media ini efektif dalam menyampaikan pesan lembaga pemerintahan. Ada banyak tips yang diberikan Alaimo, namun ada empat pokok yang dapat dijalankan tim humas lembaga pemerintahan, berikut penjelasannya :

1. Membangun Follower atau Subscribers dengan Konten Menarik

Pengikut adalah salah satu kekuatan media sosial. Semakin besar pengikut, reputasi media sosial lembaga pemerintah itu semakin tinggi karena semakin besar pengaruhnya kepada masyarakat. Sebab, peluang orang untuk melihat, menduplikasi, dan menyebarkan pesan semakin tinggi. Untuk itu, para admin dan tim media sosial lembaga pemerintahan dapat melakukan berbagai langkah.

Selain promosi, salah satu kunci menarik pengikut adalah dengan memosting konten yang menarik dan relevan. Dengan begitu, masyarakat akan tertarik menyukai dan menyebarkan pesan hingga dapat mempengaruhi teman-teman dekatnya untuk menjadi follower baru. Salah satu media sosial yang rajin memosting konten menarik adalah media sosial Kementerian ESDM yang memiliki 177 ribu pengikut di facebook, hinga lembaga ini berhasil menjuarai penghargaan Media Sosial Terbaik di AMH 2024

Postingannya kerap disukai dan disebarkan oleh para penggunanya. Salah satunya terkait diskon pembelian listrik pada Januari 2025 hingga 50 persen, juga informasi bahwa tarif listrik pada triwulan pertama (Januari sampai Maret 2025) tidak mengalami kenaikan. Informasi itu merupakan kabar positif yang tentu para follower akan menyukai dan menyebarkannya.

2. Menangkal Informasi Hoaks

Lembaga pemerintah akan memberikan informasi yang valid, kredibel, dan akurat. Hal inilah menjadi acuan masyarakat dalam memilih dan memilah informasi. Seperti yang dijelaskan oleh Haro-de-Rosario, Sáez-Martín, dan del Carmen Caba-Pérez (2018), kehadiran di media sosial tidak hanya merupakan peluang strategis, tetapi juga wajib untuk mencegah pihak lain menggantikan pemerintah lokal dalam menyediakan informasi dan berinteraksi.

Ini penting karena di era media sosial, banyak berita palsu bertebaran. Mirisnya lagi, para pembuat berita palsu biasanya merancang pesannya sebaik mungkin, dengan kata-kata dramatis dan provokatif, kadang disertai ilustrasi dan foto yang menggugah sehingga berita dengan cepat menyebar. Mirisnya lagi, sebuah studi menemukan bahwa berita palsu 70% lebih mungkin dibagikan ulang dibandingkan cerita yang benar (Vosoughi, Roy, & Aral, 2018). Dan mereka juga bisa sangat meyakinkan sehingga para warganet percaya dengan isi di dalamnya. Studi lain menemukan bahwa orang Amerika percaya 75% dari berita palsu yang mereka konsumsi (Silverman & Singer-Vine, 2016). Oleh karena itu, penting untuk menanggapi potensi dampak signifikan dari berita palsu dengan serius.

Salah satu media sosial yang yang jadi rujukan untuk mennagkal hoaks adalah divisi humas POLRI. Akun instagramnya kerap menangkal info hoax yang terlanjur tersebar di masyarakat. Salah satunya kasus keracunan santri akibat vaksin yang ternyata penyebabnya adalah difteri.

3. Meningkatkan Transpransi Lembaga Pemerintah

Media sosial saat ini dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan transparansi, meningkatkan komunikasi dua arah dengan warga, dan menjangkau populasi yang mungkin sulit dijangkau melalui saluran komunikasi pemerintah lainnya (Bertot, Jaeger, & Grimes, 2012). Seorang direktur media sosial di sebuah badan federal AS menyebutkan bahwa salah satu manfaat menggunakan media sosial adalah memungkinkan departemennya menciptakan pemahaman yang lebih baik dengan para pemangku kepentingan melalui gaya komunikasi yang akrab dan nyaman, alih-alih menggunakan jargon atau singkatan yang sulit dipahami (Mergel, 2013).

Gaya komunikasi santai ala Mergel ini coba diadopsi oleh akun instagram beacukai dengan akun @beacukairi. Alih-alih menggunakan bahasa formal yang kaku, akun ini menggunakan bahasa santai dengan kata Gua dan Lo dan mendapatkan like sebanyak 700 dan 40 komentar. Beberapa informasinya juga dibuat dengan bahasa menarik seperti aksi kejar-kejaran aparat bea cukai dengan penyelundup rokok ilegal. Postingan itu berhasil mendapatkan likes sebanyak 4.351 dan 174 komentar.

Dengan bahasa yang luwes dan santai, maka engagement pesan itu pun semakin besar dan luas. Para follower mungkin tidak hanya membaca pesan atau postingan tersebut, tapi juga ikut memberikan like, komentar, meneruskan pesan itu ke temannya, membagikannya di grup chat, dan lainnya. Menurut Alaimo, tujuan praktisi hubungan masyarakat pemerintah bukan hanya agar orang membaca konten mereka, tetapi juga agar audiens menyukai, membagikan, dan terlibat dalam percakapan tentang konten tersebut. Hal ini dikenal sebagai engagement. Menurut Paine (2011, hlm. 60), *"engagement umumnya didefinisikan sebagai tindakan lebih dari sekadar melihat atau membaca, misalnya berkomentar, mendaftar, mengunduh, atau membagikan/memosting ulang pesan itu di akun pribadinya."

Berger (2013) menemukan, orang cenderung membagikan informasi jika memenuhi enam kriteria berikut, yaitu memiliki social currency (membuat mereka terlihat baik), mengandung pemicu yang relevan dengan apa yang dipikirkan, membangkitkan emosi, melibatkan partisipasi orang lain secara publik, memberikan nilai praktis, dan mengandung cerita.

4. Komunikasi Krisis di Media Sosial dan Golden Hour

Sebaik apa pun kita melakukan strategi dan persiapan untuk menghindari masalah, tapi krisis tetap tak dapat dielakkan. Institute for Public Relations (2007) mengartikan krisis sebagai "ancaman signifikan terhadap operasi yang dapat memiliki konsekuensi negatif jika tidak ditangani dengan baik."

Cara tepat menangani krisis adalah dengan memanfaatkan golden hours, alias jam emas. Garcia (2017) memperingatkan bahwa sangat penting bagi organisasi untuk merespons di media sosial selama jam pertama – yang disebutnya sebagai "jam emas" – setelah sebuah peristiwa dimulai. Kecepatan sangat penting karena "penundaan bertahap dalam menunjukkan bahwa sebuah organisasi peduli dapat menyebabkan kerugian yang lebih besar dari sekadar bertahap" (Garcia, 2017, hlm. 130).

Golden hours sendiri adalah istilah medis untuk waktu kritis setelah masalah kesehatan terjadi seperti serangan jantung, stroke, dan lainnya. Ada fakta tim medis berpeluang besar menyelamatkan pasien bila melakukan tindakan tepat di periode tersebut. Ini juga berlaku bagi tim humas yang memiliki periode satu jam untuk menangani krisis.

Memang tidak mudah memberikan tanggapan cepat saat masalah datang, karena kita membutuhkan banyak informasi, data, dan fakta terkait masalah tersebut. Juga apakah kita harus bertanggung jawab dan meminta maaf. Meski begitu, tim humas tetap harus sigap dengan segera memposting di media sosial untuk menyampaikan empati dan menunjukkan bahwa mereka sedang mengumpulkan informasi serta akan segera melaporkan lebih lanjut. Garcia (2017, hlm. 126–128) memperingatkan bahwa diam dapat diartikan sebagai ketidakpedulian atau rasa bersalah dan mencatat bahwa praktisi dapat mengakui apa yang terjadi, mengekspresikan empati, menjelaskan nilai-nilai mereka, serta merinci pendekatan dan komitmen mereka tanpa meningkatkan risiko litigasi.

Sementara Timothy Coombs dalam bukunya berjudul Ongoing Crisis Communication: Planning, Managing, and Responding (2019), menyarankan tiga langkah yang sebaiknya sigap dilakukan tim humas saat golden hour, yaitu mengidentifikasi krisis, mengevaluasi dampak krisis, dan merespons krisis. DJBC melakukan identifikasi dan kasus ini murni karena ketidaktahuan dan kesalahpahaman prosedur saat hendak menerima hibah bantuan barang. Tim humas DJBC segera melakukan komunikasi langsung dengan pelapor, yaitu pihak sekolah SLB yang tidak kunjung mendapatkan alat bantu. DJBC juga memberikan respons dan tanggapan cepat di media sosial. Lalu mengundang awak media massa tradisional untuk beraudiensi terkait kasus tertahannya alat bantu untuk tunanetra ini, sehingga para jurnalis dapat meluruskan isu yang keliru yang terlanjur viral dan menyebar di masyarakat. Terakhir adalah dengan memanfaatkan Sri Mulyani dan Yustinus Pranowo sebagai spokeperson untuk menangani krisis. Strategi terakhir ini dinamakan dengan bolstering, yaitu memfokuskan pada berita-berita positif terkait DJBC. Pasca krisis, DJBC merangkul beberapa influencer terkait untuk menyebarkan informasi terkait prosedur ekspor dan impor barang. Dengan berbagai langkah di atas, masalah tadi dapat diatasi dengan baik, meski memerlukan waktu yang cukup panjang.

Media sosial menawarkan kepada praktisi hubungan masyarakat pemerintah sebuah alat yang belum pernah ada sebelumnya, yaitu sarana komunikasi langsung dengan publik yang gratis, yang dapat meningkatkan transparansi dan kepercayaan terhadap lembaga pemerintah, memastikan bahwa warga menerima informasi penting, memperoleh umpan balik berharga untuk meningkatkan kinerja lembaga, serta berjejaring dan belajar dari rekan-rekan yang sudah mahir. Kecepatan penyebaran informasi di media sosial telah menjadikannya sangat penting bagi praktisi hubungan masyarakat lembaga pemerintah untuk merespons krisis dan menunjukkan kepedulian mereka dalam "golden hour." Dengan mempelajari dan memanfaatkan praktik terbaik media sosial, para profesional hubungan masyarakat pemerintah dapat berupaya memaksimalkan keterlibatan dan meminimalkan krisis berkembang menjadi lebih liar.

× Image