Nasional
Beranda » Berita » Milangkala Desa Cibuluh ke-51: Saat Warga Menyatu dengan Jejak Leluhur

Milangkala Desa Cibuluh ke-51: Saat Warga Menyatu dengan Jejak Leluhur

Tarian Hempag Balarea sambut kehadiran tokoh dan Forkopimcam di Milangkala Desa Cibuluh. (Foto: Dok Eko Widiantoro))
Tarian Hempag Balarea sambut kehadiran tokoh dan Forkopimcam di Milangkala Desa Cibuluh. (Foto: Dok Eko Widiantoro))

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK — Suasana Desa Cibuluh, Kecamatan Ujungjaya, Kabupaten Sumedang, berubah sejak pagi buta pada Senin, 24 November 2025.

Jalan desa yang biasanya lengang pada hari kerja mendadak ramai oleh langkah warga yang berbondong-bondong menuju halaman kantor desa.

Para ibu membawa anak mereka yang mengenakan pakaian adat, sementara para sesepuh berjalan perlahan dengan tongkat kayu yang sudah menghitam dimakan usia.

Di tengah keramaian itu, asap kemenyan tampak mengepul dari tungku kecil di pelataran. Aromanya menyatu dengan udara lembap pagi hari, menciptakan atmosfer sakral yang terasa menyelimuti seluruh halaman.

Gamelan mulai ditabuh, pelan dan berirama, sebelum akhirnya mengantar tarian adat pembuka. Anak-anak penari menggerakkan tangan dengan luwes, seolah mengikuti alur cerita yang diwariskan leluhur.

Catatan 2025 Jakarta: Sudah On The Track, Tetapi …

Tak jauh dari panggung, beberapa tokoh adat tampak duduk bersila. Mereka melantunkan kidung sejarah guguritan yang berkisah tentang perjalanan panjang desa, dari masa ketika wilayah itu masih berupa hutan, hingga berubah menjadi perkampungan yang kini dihuni lebih dari dua ribu jiwa. Setiap baitnya disampaikan dengan tempo yang tenang, nyaris seperti doa yang diarahkan pada para karuhun.

Tema milangkala tahun ini, “Ngirut Ratu Mapag Raja, Ngabuka Zaman Munggaran,” bukan dipilih secara sembarangan. Bagi masyarakat Cibuluh, ungkapan itu adalah simbol keseimbangan: menghormati masa lalu untuk menyambut masa depan yang lebih baik.

“Kami Tidak Boleh Melupakan Akar Kami”

Di tengah hiruk pikuk acara, Dudu Sudrajat, Kepala Desa Cibuluh, tampak sibuk. Ia sesekali berhenti untuk menyalami sesepuh yang datang, lalu kembali memeriksa kesiapan rangkaian acara.

“Milangkala bukan hanya tentang perayaan,” katanya saat ditemui di sela kegiatan.

Ketika Citra Satelit Menentukan Cepat Lambatnya Pupuk Menyelamatkan Sawah Pascabencana Sumatra

"Kami tidak boleh melupakan akar kami. Para leluhur membangun desa ini dari nol, dari rawa dan semak, dan kita hanya melanjutkan perjuangan mereka.”

Dudu mengaku bahwa sebagian cita-cita pembangunan desa masih belum tercapai, terutama terkait infrastruktur dan pemberdayaan ekonomi warga.

Milangkala, baginya, adalah momentum refleksi sekaligus pengingat untuk terus mendorong kemajuan.

“Kalau tidak dimulai dari kita sekarang, lalu siapa lagi? Kami ingin masa depan desa ini lebih terbuka, terutama untuk anak-anak muda,” ujarnya.

Forkopimcam Hadir, Masyarakat Terlibat

ITC Bersama Polres Depok Buka Pos Pengamanan Malam Tahun Baru, Dukung Rayakan Tanpa Kembang Api

Acara itu juga dihadiri unsur Forkopimcam Ujungjaya, yang duduk berdampingan dengan tokoh masyarakat dan perwakilan lembaga adat.

Sejak awal, milangkala ini memang dirancang sebagai ruang pertemuan lintas generasi dan lintas peran. Tidak ada batas yang terlalu kaku; warga, aparat, dan sesepuh bercampur dalam satu panggung kebersamaan.

Beberapa warga desa tampak menonton dari bawah pohon mahoni yang rindang. Mereka mengobrol pelan, membicarakan perubahan desa dalam setengah abad terakhir.

Ada yang mengenang jalan desa yang dulu masih berupa tanah merah, ada yang bercerita tentang masa ketika listrik baru masuk ke kampung mereka.

Ritual “Larung”: Harapan yang Dilepas ke Sungai

Menjelang siang, rangkaian acara beralih ke Bendungan Cipanas yang berada sekitar satu kilometer dari pusat desa. Warga berjalan beriringan, membawa ember berisi ikan emas berukuran sedang.

Prosesi yang dikenal sebagai “larung” itu merupakan simbol penghormatan kepada alam, terutama sumber air yang menjadi nadi kehidupan pertanian desa.

Puluhan ikan emas dilepaskan satu per satu oleh aparatur pemerintah desa bersama jajaran Forkopimcam dan petugas bendungan.

Begitu ikan-ikan itu menyentuh permukaan air, riak kecil muncul lalu menghilang, meninggalkan gema harapan yang tak terucap. Seorang pria paruh baya yang ikut menyaksikan prosesi itu berbisik, “Lamun cai berkah, tatanén ogé berkah,” jika air membawa berkah, pertanian pun membawa berkah.

Ritual larung bukan ritus baru bagi warga Cibuluh. Namun tahun ini terasa lebih istimewa karena jumlah ikan yang dilepas lebih banyak dibanding tahun-tahun sebelumnya. Bagi masyarakat, ikan emas melambangkan kemakmuran dan kejernihan niat.

Menutup Hari dengan Doa dan Harapan

Setelah prosesi larung selesai, warga berkumpul kembali di tepi bendungan untuk menutup milangkala dengan doa bersama. Beberapa tokoh adat kembali memimpin lantunan doa Sunda kuno, memohon keselamatan dan kemajuan bagi desa.

Dudu Sudrajat menutup rangkaian kegiatan dengan pesan singkat. “Kita hidup hari ini karena para pendahulu menjaga desa ini dengan kerja keras dan hati. Mari kita teruskan itu,” katanya.

Milangkala ke-51 Desa Cibuluh pun berakhir saat matahari mulai condong ke barat. Namun semangat warga—yang hari itu menyatu dalam tarian, kidung sejarah, hingga ritual larung tetap terasa kuat.

Seolah desa kecil ini baru saja membuka lembaran baru yang mereka sebut “zaman munggaran”: masa depan yang ingin mereka tulis bersama, tanpa melupakan jejak para karuhun. (***)

Jurnalis: Eko Widiantoro