RUZKA INDONESIA — Siang itu, Selasa, 23 Desember 2025, Kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kota Depok, Jawa Barat, tidak riuh.
Tidak ada teriakan selebrasi, tidak pula sorot lampu kamera yang berlebihan. Yang terdengar justru suara kursi digeser perlahan, salam yang bertukar antarsesama wartawan, dan jeda-jeda sunyi yang akrab bagi para wartawan—orang-orang yang terbiasa hidup dari kata, tetapi jarang merayakan diri sendiri.
Pukul 13.30 WIB, acara syukuran dimulai. PWI Kota Depok menjadi tempat bagi sebuah momen yang sederhana namun sarat makna: ungkapan syukur atas raihan Juara III Lomba Karya Tulis Jurnalistik BPJS Ketenagakerjaan 2025 yang diraih salah satu jurnalis Ruzka Indonesia.
Bukan sekadar kemenangan lomba, melainkan pengakuan atas proses panjang menulis isu yang kerap dianggap “berat” dan tidak selalu ramah klik.
Di ruangan itu, jurnalisme tidak berdiri sebagai pemenang tunggal. Ia hadir sebagai kerja kolektif—antara wartawan, organisasi pers, dan lembaga publik yang bersedia membuka diri.
Ketua PWI Kota Depok, Rusdy Nurdiansyah membuka acara dengan nada yang tenang. Ia tidak berbicara soal ranking atau piala, melainkan tentang disiplin menjaga akal sehat publik.
Tentang bagaimana jurnalisme yang baik tidak lahir dari kecepatan semata, tetapi dari ketekunan membaca realitas, menguji data, dan mendengarkan suara yang sering tertutup bising kebijakan.
“Prestasi ini bukan hanya milik individu,” katanya, “tetapi bagian dari upaya kolektif insan pers dalam menjaga profesionalisme dan integritas jurnalistik,” kata Rusdy.
Kata-kata itu tidak disambut gemuruh tepuk tangan. Hanya anggukan-anggukan kecil—tanda setuju dari mereka yang paham betul betapa sunyinya jalan jurnalistik yang memilih kedalaman dibanding sensasi.
Di barisan depan, Novarina Azli, Kepala BPJS Ketenagakerjaan Depok, kemudian menyampaikan paparannya. Ia tidak memulai dari angka-angka besar, meski memilikinya. Ia memulai dari sebuah pengakuan sederhana: bahwa jaminan sosial tidak akan bekerja jika tidak dipahami.
Menurut Novarina, perlindungan pekerja tidak cukup hanya dibangun lewat regulasi dan program. Ia membutuhkan penerjemah—dan di situlah peran media menjadi krusial. Media bukan sekadar penyampai informasi, melainkan jembatan antara kebijakan dan kehidupan nyata para pekerja.
“Peran media sangat strategis dalam menyampaikan informasi jaminan sosial secara utuh dan berimbang,” ujarnya. “Edukasi publik tidak hanya melalui kebijakan, tetapi juga melalui karya jurnalistik yang dapat menjangkau masyarakat luas.”
Di ruang PWI itu, kata “sinergi” tidak terdengar klise. Ia terasa konkret—karena yang dibicarakan bukan pencitraan, melainkan kerja panjang membangun literasi.
Puncak acara berlangsung singkat. Sebuah piagam penghargaan diserahkan oleh BPJS Ketenagakerjaan Depok kepada Djoni Satria. Bingkainya sederhana. Namun maknanya berlapis: apresiasi atas konsistensi mengangkat isu jaminan sosial, sekaligus pengakuan bahwa tulisan-tulisan yang berpijak pada kemanusiaan masih memiliki tempat.
Tak ada ekspresi berlebihan. Hanya senyum tipis, jabat tangan, dan foto bersama yang segera usai. Seperti jurnalisme itu sendiri—selesai di permukaan, berlanjut di makna.
Dalam sambutan singkatnya, Djoni Satria tidak berbicara tentang kemenangan. Ia memilih berbagi cara pandang. Tentang bagaimana menulis isu BPJS Ketenagakerjaan sering kali berarti mendengar cerita pekerja yang baru memahami arti perlindungan setelah musibah datang. Tentang keluarga yang mengenal jaminan sosial bukan dari brosur, tetapi dari pengalaman kehilangan.
“Penghargaan ini saya maknai sebagai tanggung jawab,” ujarnya pelan. “Untuk terus menulis dengan perspektif kemanusiaan dan keberpihakan pada pekerja, agar jaminan sosial tidak hanya dipahami sebagai kebijakan, tetapi sebagai kebutuhan.”
Kalimat itu menggantung sejenak di udara. Tidak retoris. Tidak dramatis. Justru karena kesederhanaannya, ia terasa jujur.
Acara kemudian ditutup dengan doa. Tidak panjang. Tidak seremonial. Syukur dipanjatkan apa adanya—seperti tulisan-tulisan yang lahir dari lapangan, tanpa polesan berlebihan.
Di meja, hidangan sederhana tersaji. Percakapan mengalir ringan: tentang liputan berikutnya, tentang tantangan pers lokal, tentang harapan agar jurnalisme tetap punya ruang bernapas di tengah tekanan algoritma.
Di luar gedung PWI, Depok kembali sibuk. Kendaraan melintas, waktu berjalan. Namun siang itu meninggalkan jejak kecil: bahwa di sebuah rumah pers, jurnalisme masih diperlakukan sebagai kerja nurani.
Di sana, syukur tidak dirayakan dengan sorak-sorai. Ia dibaca perlahan—seperti sebuah tulisan yang tahu betul bahwa maknanya baru terasa setelah pembaca menutup halaman terakhir. (***)

Komentar