Kolom
Beranda » Berita » Ketika Depok Juara, Kota dengan Dompet Digital Paling Tebal di Jawa Barat

Ketika Depok Juara, Kota dengan Dompet Digital Paling Tebal di Jawa Barat

Penulis: Djoni Satria/Wartawan Senior.

RUZKA INDONESIA — Pagi di Depok, Jawa Barat, dimulai tanpa suara uang. Di sebuah warung kopi kecil dekat Stasiun Kereta Api Depok Lama, uap panas naik dari gelas kertas, bercampur bau gula dan aroma kopi yang menyengat.

Seorang pembeli berdiri sebentar, menunggu hitungan di layar kasir. Ia tidak membuka dompet. Tidak ada lembaran uang berpindah tangan. Ponsel di tangannya menyala, kamera diarahkan ke selembar kode hitam-putih yang sudah agak pudar di etalase.

Satu detik. Dua detik. Lalu bunyi pendek dari layar—ting. Transaksi selesai.

Penjual mengangguk, pembeli melangkah pergi. Tak ada saksi selain layar yang kembali gelap. Uang berpindah tanpa suara, tanpa sentuhan, tanpa jejak fisik. Di luar tampak kereta melintas, orang-orang bergerak cepat, dan hidup terus berjalan seolah tak ada yang baru saja terjadi.

Adegan semacam itu berulang di banyak sudut kota Depok. Di angkot yang berhenti sebentar, di minimarket yang antreannya pendek, hingga di lapak gorengan pinggir jalan yang kini menempelkan stiker (Quick Response code) QR di kaca etalasenya. Jari-jari bekerja lebih cepat daripada pikiran. Satu sentuhan, satu konfirmasi, lalu urusan selesai. Uang tak lagi berbunyi—ia mengalir senyap melalui jaringan yang tak terlihat.

Catatan Cak AT: NU 165 Triliun

Saya sering menyaksikan pemandangan itu tanpa benar-benar memikirkannya. Sampai sebuah data membuat saya berhenti sejenak.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Depok tentang kepemilikan uang elektronik. Di sanalah kebiasaan kecil yang tampak remeh itu berubah menjadi potret besar sebuah kota.

Saya selalu percaya, setiap angka statistik menyimpan suara. Ia tidak berteriak, tidak mengetuk meja redaksi, tapi berbicara pelan—tentang cara hidup, cara berpikir, dan arah sebuah kota. Data BPS Kota Depok ini adalah salah satu suara itu: tenang, namun dalam.

Depok kini tercatat sebagai kota dengan persentase kepemilikan uang elektronik tertinggi se-Jawa Barat. Angkanya mencapai 74,09 persen. Tertinggi. Melampaui kota-kota yang lebih dulu dikenal sebagai pusat ekonomi dan urbanisasi. Bagi saya, ini bukan sekadar kabar tentang kemajuan teknologi, melainkan penanda perubahan mentalitas warga kota yang berlangsung diam-diam.

Uang tak lagi berbunyi. Ia tak berdesir saat dihitung, tak menebal di saku, tak meninggalkan rasa kehilangan yang kasatmata. Ia kini tinggal di layar ponsel—dalam ikon kecil, notifikasi singkat, dan kepercayaan yang perlahan tumbuh di kota bernama Depok.

Catatan Cak AT: Pembeda Dua Wajah

Angka yang Diam, Kota yang Bergerak

Data BPS Kota Depok mencatat, sekitar tiga dari empat rumah tangga di Kota Depok kini telah memiliki uang elektronik—baik berbasis server dalam bentuk dompet digital, maupun berbasis kartu atau chip. Artinya, uang tanpa wujud fisik bukan lagi pengecualian, melainkan sudah menjadi kebiasaan mayoritas.

Bahkan, 64,77 persen rumah tangga telah menggunakan uang elektronik berbasis server. Sementara itu, 50,45 persen rumah tangga tercatat memiliki uang elektronik berbasis kartu atau chip. Angka ini menegaskan bahwa transformasi transaksi di Depok tidak sepenuhnya meloncat ke layar ponsel, tetapi juga berjalan lewat kartu-kartu fisik yang lebih dulu akrab dengan kehidupan sehari-hari.

Angka-angka ini berbicara tentang kecepatan adopsi, tetapi juga tentang kebutuhan yang lahir dari cara hidup.

Depok adalah kota antara. Bukan sepenuhnya pusat, bukan pula pinggiran. Ia hidup di sela-sela Jakarta—kota tempat orang pulang hanya untuk tidur, lalu pergi lagi sebelum matahari benar-benar naik. Dalam ritme seperti itu, kecepatan bukan kemewahan, melainkan kebutuhan dasar. Uang elektronik hadir sebagai jalan pintas yang sah.

Catatan Cak AT: Merunut DNA Anjing

Saya melihat uang elektronik di Depok bukan sekadar simbol gaya hidup urban, melainkan alat bertahan. Ia membantu orang mengejar waktu, memangkas antrean, dan menyederhanakan transaksi di tengah hidup yang serba singkat. Kota ini bergerak cepat, dan warganya belajar menyesuaikan diri—kadang tanpa sempat bertanya apakah mereka benar-benar siap.

Dompet Digital dan Cara Baru Memperlakukan Uang

Namun di titik inilah saya mulai ragu sekaligus penasaran. Apa yang berubah ketika uang menjadi tak kasatmata? Ketika membayar tak lagi terasa sebagai kehilangan fisik, melainkan hanya sentuhan jari?

Laman: 1 2

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *