Nasional
Beranda » Berita » Ketika Data Menjadi Penjaga Sawah: Teknologi di Balik Penyaluran Pupuk Subsidi Negara

Ketika Data Menjadi Penjaga Sawah: Teknologi di Balik Penyaluran Pupuk Subsidi Negara

Endin (52 tahun), petani penggarap sawah di Kelurahan Cimpaeun, Depok, menabur pupuk di lahan yang tergenang air. Di balik gerak tangannya yang sederhana, data dan sistem negara bekerja memastikan pupuk tiba tepat waktu—agar musim tanam tak lagi bergantung pada ketidakpastian. (Foto: Djoni Satria/ Ruzka Indonesia)

RUZKA INDONESIA – Di gudang pupuk milik Pupuk Indonesia—termasuk jaringan gudang anak perusahaan produsen pupuk seperti Petrokimia Gresik, Pupuk Kaltim, Pupuk Sriwidjaja (Pusri), Pupuk Kujang, hingga Pupuk Iskandar Muda—kini nyaris tak ada lagi ruang gelap.

Setiap karung memiliki jejak. Dari mesin produksi hingga sampai ke tangan petani, pupuk subsidi Indonesia bergerak di bawah pengawasan layar, data, dan sistem digital yang bekerja tanpa kompromi. Teknologi perlahan mengambil alih peran yang dulu rapuh dipegang manusia—mengganti ingatan dengan catatan, dan dugaan dengan bukti.

Pemindaian KTP petani melalui sistem digital i-Pubers di sebuah kios pupuk bersubsidi. Di balik tumpukan karung pupuk, data bekerja memastikan alokasi tercatat, penebusan terpantau, dan subsidi negara jatuh ke tangan yang berhak. (Foto: Djoni Satria/ Ruzka Indonesia)

Transformasi ini bukan sekadar pembaruan sistem, melainkan perubahan cara negara mengatur dan mengawasi penyaluran pupuk subsidi. Pada 2025, PT Pupuk Indonesia (Persero) mendapat mandat menyalurkan 9,55 juta ton pupuk subsidi nasional—sebuah angka besar yang menuntut bukan hanya kapasitas produksi, tetapi juga ketepatan sasaran. Dalam rantai panjang dari pabrik hingga sawah, teknologi kini digunakan sebagai instrumen pengawasan untuk meminimalkan risiko kebocoran dan salah sasaran subsidi.

Direktur Utama Pupuk Indonesia, Rahmad Pribadi, menegaskan bahwa pupuk subsidi tak bisa lagi diperlakukan semata sebagai urusan distribusi barang.

“Pupuk subsidi bukan sekadar soal distribusi barang, tetapi soal keadilan. Teknologi kami gunakan untuk memastikan hanya petani yang berhak yang bisa menebus pupuk,” ujarnya dalam wawancara bersama CNBC Indonesia yang ditayangkan di kanal YouTube CNBC Indonesia, Rabu (17/12/2025).

ITC Bersama Polres Depok Buka Pos Pengamanan Malam Tahun Baru, Dukung Rayakan Tanpa Kembang Api

Dari Logistik Manual ke Sistem Berbasis Data

Selama bertahun-tahun, persoalan pupuk subsidi kerap berulang: keterlambatan penyaluran, kelangkaan di musim tanam, hingga dugaan penyimpangan di tingkat distribusi. Masalah utamanya bukan semata pada kebijakan, melainkan pada sistem manual yang membuka ruang kesalahan dan manipulasi.

Kios pupuk bersubsidi di Cimpaeun, Depok. Di tempat sederhana ini, teknologi negara bekerja diam-diam: menautkan data, hak petani, dan musim tanam yang tak boleh menunggu. (Foto: Djoni Satria/ Ruzka Indonesia)

Kini pendekatan itu bergeser. Pupuk Indonesia membangun sistem pengawasan berbasis data dari hulu hingga hilir. Produksi, distribusi logistik, hingga penebusan pupuk oleh petani terhubung dalam satu sistem yang saling membaca dan saling mengawasi.

“Pengawasan kami lakukan menyeluruh, mulai dari produksi, distribusi logistik, sampai penebusan di kios oleh petani,” kata Rahmad.

Dalam konteks ini, teknologi tidak lagi diposisikan sebagai pelengkap, melainkan sebagai bagian dari tata kelola kebijakan itu sendiri.

Rakernas PMSM Indonesia Susun Strategi Unggul Perkuat Daya Saing Global

i-Pubers dan Identitas Digital Petani

Fondasi utama pengawasan penebusan pupuk subsidi berada pada i-Pubers (Integrasi Pelayanan Pupuk Bersubsidi), platform digital yang dikembangkan Kementerian Pertanian bersama Pupuk Indonesia. Sistem ini mencatat seluruh petani penerima pupuk subsidi secara nasional beserta alokasi yang melekat pada masing-masing identitas.

“Seluruh petani yang memiliki alokasi pupuk bersubsidi sudah terdaftar di i-Pubers. Ketika petani datang ke kios, cukup membawa KTP, lalu discan. Dari situ langsung terlihat berapa alokasinya, sudah ditebus berapa, dan sisanya berapa,” jelas Rahmad.

Direktur Utama Pupuk Indonesia, Rahmad Pribadi, menjelaskan mekanisme penebusan pupuk bersubsidi yang kini tercatat secara digital dan disertai bukti struk. (Foto: Tangkapan layar kanal YouTube CNBC Indonesia)

Setiap transaksi penebusan dilengkapi data lokasi, waktu, serta dokumentasi transaksi. Identitas penebus dan titik kios tercatat secara real time, sehingga alur pupuk dapat ditelusuri secara akurat. Pendekatan digital ini dirancang untuk mempersempit celah penyimpangan yang selama ini kerap muncul pada sistem berbasis dokumen kertas.

Di sebuah kios pupuk “Cimpaeun Jaya” milik Sulaiman (32) di Jalan Raya Tapos, Kampung Cimpaeun, RT 03/RW 02, Kelurahan Cimpaeun, Kecamatan Tapos, Kota Depok, antrean bergerak pelan pada pagi yang lembap.

Hadapi Nataru, Bupati Majalengka Instruksikan Pantau Ketat Harga Pangan

Endin (52), warga Jalan Raya Tapos RT 04/RW 01, petani penggarap lahan sawah yang tersisa di pinggiran kota, merogoh saku kemejanya dan mengeluarkan KTP. Petugas kios memindai kartu itu, menatap layar sebentar, lalu menyebutkan jumlah pupuk yang bisa ditebus.

“Sekarang jelas. Jatah berapa, sisa berapa, langsung kelihatan,” kata Endin—yang juga Ketua Kelompok Tani Galang Sari—singkat kepada Ruzka Indonesia, Rabu (24/12/2025).

Ia mengingat masa ketika penebusan pupuk sering tertunda karena data belum turun atau informasi di kios berbeda dengan yang ia dengar dari kelompok tani. Kini, prosesnya lebih ringkas. Ia datang, menebus, lalu kembali ke sawah yang tersisa di tengah kepadatan permukiman Depok.

Di Cimpaeun, pupuk kini tak lagi menunggu musim tanam—musim tanamlah yang menunggu data.

Rantai Logistik yang Terpantau

Pengawasan juga dilakukan pada rantai logistik. Pupuk Indonesia memanfaatkan sistem pemantauan pergerakan pupuk sejak keluar dari pabrik hingga tiba di kios. Kapal pengangkut, gudang penyimpanan, dan armada darat terhubung dalam sistem pemantauan yang sama.

“Mulai dari kapal yang sandar di pelabuhan pabrik, seluruh datanya kami catat secara real time. Ada visualnya, ada CCTV, kapal dan truk juga dilengkapi GPS,” tutur Rahmad.

Gudang dapat dipantau stoknya secara langsung, sementara pergerakan armada distribusi dapat dilihat melalui sistem pemetaan digital. Dalam distribusi pupuk bersubsidi, visibilitas rantai pasok menjadi faktor penting dalam pengawasan.

Pada tahun-tahun sebelumnya, penebusan pupuk subsidi di awal tahun kerap tersendat. Administrasi belum rampung, data belum sepenuhnya sampai ke kios, dan petani harus menunggu berminggu-minggu setelah kalender berganti—tepat saat musim tanam mulai berjalan.

Pada 2025, pola itu mulai berubah. Data alokasi telah terdistribusi secara digital sejak awal tahun. Penebusan pupuk tercatat berlangsung sejak hari pertama Januari di berbagai daerah. Bagi petani, perubahan ini bukan soal teknologi, melainkan soal waktu—dan waktu sering kali menentukan hasil panen.

Dalam kebijakan pangan, kesalahan satu hari dalam distribusi pupuk bisa berarti satu musim tanam yang terganggu. Dan satu musim tanam yang terganggu bukan hanya soal hasil panen, tetapi kegagalan kebijakan yang harus dibayar negara.

Sanksi Berbasis Sistem

Rahmad mengakui bahwa potensi pelanggaran tetap ada. Namun perbedaannya terletak pada mekanisme penindakan.

“Kalau ada kios, distributor, bahkan truk yang melanggar ketentuan, dari Jakarta kami cukup menghentikan penyalurannya melalui sistem,” ujarnya.

Penghentian distribusi dapat dilakukan pada hari yang sama saat indikasi pelanggaran terdeteksi. Mekanisme ini tetap memberi ruang evaluasi. Jika laporan tidak terbukti, penyaluran dapat diaktifkan kembali setelah proses verifikasi.

Pada sistem manual, penindakan sering bergantung pada laporan administratif. Pada sistem digital, keputusan berbasis pada data transaksi.

Petani Tetap Sederhana

Di tengah digitalisasi, Rahmad menegaskan bahwa petani tidak dibebani teknologi.

“Petani itu beneficiary atau penerima manfaat. Yang mengoperasikan teknologi adalah kios. Petani cukup membawa KTP saja,” katanya.

Kios pupuk berfungsi sebagai operator sistem. Petani tidak diwajibkan menggunakan aplikasi atau perangkat digital tertentu. Transformasi berlangsung di belakang layar, sementara proses di tingkat petani tetap sederhana.

Menjaga Musim Tanam dan Pasokan Nasional

Pada musim tanam Oktober 2025 hingga Maret 2026, Pupuk Indonesia memastikan keamanan pasokan dengan memaksimalkan kapasitas produksi nasional sebesar 14,5 juta ton untuk memenuhi kebutuhan subsidi sebesar 9,55 juta ton. Kebijakan diskon harga pupuk subsidi hingga 20 persen diterapkan untuk menjaga keterjangkauan pupuk bagi petani di tengah tekanan biaya produksi.

“Kami ingin petani fokus pada produksi,” ujar Rahmad.

Dalam jangka panjang, Pupuk Indonesia juga menjajaki kerja sama dengan tambang bahan baku di dalam negeri untuk mengurangi ketergantungan impor dan menjaga keberlanjutan produksi.

Ketika Data Menjadi Fondasi Keadilan

Tantangan akurasi data dalam penyaluran pupuk subsidi juga menjadi sorotan kalangan akademisi. Ketua Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah Institut Pertanian Bogor (IPB), Faroby Falatehan, menilai persoalan utama penyaluran pupuk bersubsidi selama ini bukan semata pada ketersediaan, melainkan pada ketepatan data sebagai dasar penetapan alokasi dan penerima.

“Penyaluran pupuk bersubsidi terus menghadapi hambatan karena informasi dasar yang belum akurat,” ujar Faroby dalam Focus Group Discussion (FGD) di IPB Convention Center, Bogor, Senin (24/11/2025).

Menurutnya, perbaikan sistem pendataan menjadi fondasi penting untuk memastikan pupuk bersubsidi diterima secara adil dan tepat sasaran oleh petani yang berhak.

“Dalam kebijakan subsidi, tantangannya bukan hanya ketersediaan, tetapi ketepatan sasaran. Digitalisasi memungkinkan negara mengawasi tanpa harus hadir secara fisik di setiap titik distribusi,” ujarnya.

Selama sistem dijalankan secara konsisten dan diawasi lintas lembaga, pemanfaatan teknologi dalam distribusi pupuk dapat menjadi fondasi penting bagi ketahanan pangan jangka panjang—terutama di tengah tekanan global terhadap rantai pasok.

Di sawah-sawah yang menunggu hujan, petani mungkin tidak pernah melihat layar pemantauan atau peta digital distribusi. Mereka tidak menyebut teknologi dengan istilah apa pun. Namun mereka merasakan dampaknya ketika pupuk tiba tepat waktu, alokasi jelas, dan musim tanam berjalan tanpa ketidakpastian.

Di sanalah teknologi bekerja paling sunyi—bukan untuk dipamerkan, melainkan untuk memastikan keadilan hadir tanpa perlu disebutkan. Dan mungkin, di situlah peran negara yang paling dewasa: bekerja melalui data, agar sawah tetap hidup. (***)

Oleh: Djoni Satria / Wartawan Senior

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *