RUZKA INDONESIA — Tidak semua dampak bencana banjir dan longsor di Sumatra Utara, Sumatra Barat dan Aceh yang terjadi akhir November 2025, langsung terlihat ketika air surut dan lumpur mulai mengering.
Di banyak wilayah akibat bencana itu, kerusakan paling menentukan justru terjadi dalam senyap—di petak-petak sawah yang kehilangan waktu tanamnya. Di sanalah, ketahanan pangan diuji bukan oleh derasnya banjir, melainkan oleh seberapa cepat negara mampu membaca kerusakan dan mengubahnya menjadi keputusan.
Dalam situasi pascabencana, persoalan pangan tidak lagi ditentukan oleh seberapa luas sawah yang terdampak, melainkan oleh kecepatan data, ketepatan kebijakan, dan kehadiran pupuk sebelum musim benar-benar berlalu. Di titik inilah, citra satelit—yang bekerja jauh di atas langit Sumatra—menjadi penentu yang tak kasatmata bagi nasib sawah di darat.
Sawah yang Berubah Lebih Cepat dari Laporan
Bencana alam selalu meninggalkan jeda antara kejadian dan pencatatan. Sawah yang kemarin masih hijau bisa berubah menjadi hamparan lumpur dalam hitungan jam. Pola tanam bergeser. Struktur tanah rusak. Namun laporan resmi membutuhkan proses verifikasi, pengumpulan data, dan waktu yang tidak singkat.
Kesenjangan ini disadari oleh Badan Pusat Statistik (BPS) RI. Dalam kata pengantar kajian Pemanfaatan Citra Satelit untuk Estimasi Cepat Perekonomian Regional, Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, menegaskan bahwa dinamika wilayah hari ini menuntut pendekatan statistik yang lebih adaptif.
“Perubahan aktivitas ekonomi yang berlangsung dinamis di berbagai wilayah menuntut adanya terobosan metodologis yang mampu menyediakan indikator ekonomi secara lebih responsif,” tulis Amalia, di Jakarta (17/12/2025).
Dalam konteks bencana, pernyataan ini memiliki makna praktis: data yang datang terlambat akan melahirkan kebijakan yang terlambat pula. Bagi sektor pertanian, keterlambatan itu bisa berarti hilangnya satu musim tanam—dan bagi petani, satu musim tanam yang hilang sering kali berarti satu tahun kehidupan yang goyah.
Membaca Luka Sawah dari Langit

Ilustrasi citra satelit menjadi instrumen awal negara membaca dampak bencana secara cepat, sebelum laporan lapangan dan pendataan manual selesai dilakukan. (Sumber: Freepik.com)
Untuk menjawab tantangan tersebut, pemanfaatan citra satelit menjadi salah satu terobosan penting. Teknologi penginderaan jauh memungkinkan negara membaca perubahan tutupan lahan, genangan air, hingga stres vegetasi hampir secara real time—bahkan ketika akses ke lapangan masih terbatas.
Dalam kajian BPS, citra satelit diposisikan sebagai sumber data alternatif untuk menangkap dinamika ekonomi regional yang sulit dipantau melalui survei konvensional, terutama pascabencana.
“Teknologi penginderaan jauh menawarkan peluang baru untuk membaca dinamika aktivitas ekonomi melalui berbagai indikator permukaan bumi yang berkorelasi dengan kondisi perekonomian regional,” tulis Amalia.
Di wilayah Sumatra yang terdampak banjir, korelasi itu menjadi nyata. Sawah yang tergenang berhari-hari menunjukkan penurunan indeks kehijauan. Lahan yang tertutup lumpur memerlukan penanganan berbeda sebelum bisa ditanami ulang. Semua perubahan itu terekam dari langit—lebih cepat daripada laporan administratif yang harus melewati jenjang birokrasi.
Ketika Negara Menyalakan Mata dari Langit
Pemanfaatan citra satelit bukan sekadar wacana akademik. Sejak hari-hari awal bencana, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) aktif menyuplai data citra satelit untuk mendukung percepatan penanganan banjir di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.

Alur keputusan negara pascabencana: dari citra satelit, analisis statistik, kebijakan pangan, hingga distribusi pupuk ke petani. (Infografis: Diolah Redaksi Ruzka Indonesia)
“Sejak bencana mulai terjadi, kami sudah menyiapkan dan terus menyuplai data citra satelit. Data tersebut kami distribusikan ke BNPB dan juga lembaga lain yang berwenang,” kata Kepala BRIN, Arif Satria.
Dukungan data tersebut disampaikan Arif Satria dalam Rapat Tingkat Menteri Tindak Lanjut Arahan Presiden RI terkait Percepatan Penanganan Bencana, yang digelar di Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), bersama kementerian dan lembaga terkait pada Rabu (17/12/2025).
Data tersebut menjadi dasar pemetaan wilayah terdampak dan pengambilan keputusan di lapangan. Namun peran citra satelit tidak berhenti pada fase tanggap darurat.
“Analisis data citra satelit tidak hanya digunakan untuk tahap tanggap darurat, tetapi juga menjadi dasar penting dalam perencanaan rekonstruksi dan pemulihan pascabencana,” ujar Arif.
BRIN bahkan mengerahkan teknologi drone berjangkauan hingga 100 kilometer, termasuk drone dengan radar ground penetration. Teknologi ini memungkinkan pembacaan kondisi bawah permukaan tanah, menunjukkan keseriusan negara dalam membaca dampak bencana secara menyeluruh—dari langit hingga ke lapisan bumi.
Dari Data ke Keputusan: Ketika Pupuk Tak Bisa Menunggu
Ketika data citra satelit digunakan untuk memetakan kerusakan sawah sejak hari-hari pertama bencana, keputusan soal pupuk tak lagi bisa menunggu laporan manual. Distribusi pupuk berubah dari rutinitas logistik menjadi strategi pemulihan ekonomi yang berpacu dengan waktu.
Di sinilah peran Pupuk Indonesia menjadi krusial. Sebagai holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pupuk, Pupuk Indonesia berada di persimpangan antara kebijakan pangan nasional dan realitas lapangan pascabencana.
Direktur Utama Pupuk Indonesia, Rahmad Pribadi, dalam berbagai kesempatan menegaskan kepada media bahwa pupuk subsidi bukan sekadar distribusi barang, melainkan instrumen kebijakan yang menyangkut keadilan dan ketepatan sasaran.
“Pupuk subsidi harus sampai kepada petani yang benar-benar membutuhkan, tepat waktu, dan sesuai kondisi lapangan. Dalam situasi darurat, kecepatan dan akurasi menjadi kunci,” ujarnya.
Dalam konteks ini, distribusi pupuk tidak hanya dituntut cepat, tetapi juga akuntabel—dapat ditelusuri, tepat sasaran, dan berbasis data yang dapat diuji.
Data spasial menjadi fondasi penting untuk menyesuaikan volume, waktu, dan prioritas distribusi pupuk. Sawah yang masih memungkinkan ditanami membutuhkan pupuk segera, sementara lahan yang rusak berat memerlukan pendekatan pemulihan berbeda.
Angka yang Membuat Waktu Menjadi Soal Hidup-Mati
Bencana banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara pada akhir November 2025 tidak hanya meninggalkan kerusakan fisik, tetapi juga menggerus fondasi ekonomi regional secara signifikan. Perhitungan Center of Economic and Law Studies (Celios) menunjukkan, total kerugian ekonomi akibat bencana tersebut mencapai sekitar Rp2,2 triliun per 30 November 2025.

Estimasi kerugian ekonomi akibat bencana di Aceh, Sumatra Barat, dan Sumatra Utara menunjukkan bahwa keterlambatan pemulihan pertanian berpotensi memperpanjang kontraksi ekonomi regional. (Sumber: Celios/ Databoks Katadata)
Kerugian terbesar terjadi di Aceh dengan total sekitar Rp1,21 triliun, terutama dari sektor konstruksi dan pertanian tanaman pangan. Sumatera Barat mencatat kerugian sekitar Rp0,62 triliun, sementara Sumatera Utara sekitar Rp0,44 triliun. Di ketiga provinsi tersebut, sektor pertanian tanaman pangan menjadi salah satu sektor yang langsung terpukul, seiring rusaknya lahan, terhentinya produksi, dan tertundanya musim tanam.
Celios mencatat bahwa bencana alam memutus jalur distribusi, melemahkan perdagangan, serta menekan konsumsi masyarakat akibat hilangnya pendapatan selama periode bencana. Dalam kondisi seperti ini, keterlambatan pemulihan pertanian berpotensi memperpanjang kontraksi ekonomi di pedesaan, sekaligus meningkatkan kerentanan pangan rumah tangga petani.
Di titik inilah, kecepatan pemulihan sawah dan distribusi pupuk tidak lagi semata urusan teknis pertanian, melainkan variabel penting dalam menahan akumulasi kerugian ekonomi regional. Setiap musim tanam yang hilang berarti kerugian baru yang berlapis—bukan hanya bagi petani, tetapi bagi rantai ekonomi daerah secara keseluruhan.
Dampak bencana di Sumatra bukan sekadar narasi visual. Angkanya nyata. Wakil Menteri Pertanian Sudaryono mencatat, banjir di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara berdampak pada sekitar 40.000 hektare lahan pertanian.
Dari jumlah tersebut, sekitar 4.500–5.000 hektare mengalami puso—gagal panen total.

Perkiraan dampak bencana terhadap lahan pertanian di Sumatra, termasuk lahan terdampak dan gagal panen (puso), yang menentukan urgensi pemulihan dan distribusi pupuk. (Sumber: Kementerian Pertanian, berbagai rilis)
“Yang paling prioritas adalah puso, karena petani sebenarnya sudah mau panen tetapi gagal. Itu yang harus kita tangani cepat,” kata Sudaryono.
Pemerintah menyiapkan langkah tanggap darurat sekaligus rehabilitasi: benih, alat mesin pertanian, hingga dukungan pembiayaan seperti kredit usaha rakyat (KUR). Tidak hanya padi, tetapi juga jagung, komoditas lain, bahkan sektor peternakan.
Presiden Prabowo Subianto memastikan negara hadir memperbaiki sawah-sawah yang rusak serta menghapus utang KUR bagi petani terdampak, karena kerusakan tersebut dikategorikan sebagai force majeure, bukan kelalaian petani.
Petani dan Musim yang Tak Pernah Menunggu
Bagi petani, semua diskusi tentang satelit, regulasi, dan kebijakan berujung pada satu pertanyaan sederhana: apakah sawah masih bisa ditanami tepat waktu.
Di sebuah desa persawahan di Sumatra Utara, seorang petani berusia 45 tahun berdiri di pematang sawah yang tanahnya masih berat oleh sisa lumpur. Air memang sudah surut, tetapi kalender tanam tak bisa menunggu.
“Kalau tanam terlambat, panen juga mundur. Kalau pupuk datang terlambat, ya sama saja,” ujarnya.
Baginya, satu musim tanam yang hilang bukan sekadar angka statistik. Ia berarti utang baru, biaya sekolah anak yang tertunda, atau lahan yang terpaksa digadaikan. Ketika pupuk akhirnya datang lebih cepat pascabencana, yang ia rasakan bukan euforia, melainkan kelegaan.
“Setidaknya kami masih punya kesempatan,” ujarnya pelan.
Regulasi yang Dipangkas, Waktu yang Diselamatkan
Di tingkat kebijakan, pemerintah menyadari bahwa kecepatan pupuk tidak hanya ditentukan oleh data, tetapi juga oleh regulasi. Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, pemerintah memangkas sekitar 145 regulasi yang selama ini memperumit penyaluran pupuk subsidi.
Dalam sistem baru, penyaluran pupuk cukup menggunakan SK dari Kementerian Pertanian, tanpa menunggu SK kepala daerah. Pupuk Indonesia dapat langsung menyalurkan pupuk ke Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan).
Dampaknya terasa: penyaluran pupuk subsidi 2025 dapat dimulai sejak 1 Januari, tidak lagi molor hingga pertengahan tahun seperti sebelumnya. Pemerintah juga menyiapkan anggaran subsidi pupuk Rp46,9 triliun untuk 2026, dengan alokasi sekitar 9,62 juta ton.
Kebijakan yang Dibaca Akademisi
Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Nasional Jakarta, Hilmi Rahman dalam sebuah kesempatan, menilai kebijakan penyaluran pupuk langsung ke petani sebagai langkah yang tepat dan lama dinantikan.
Menurutnya, selama ini industri pupuk diikat oleh regulasi yang terlalu kompleks—puluhan undang-undang, peraturan pemerintah, hingga peraturan presiden.
“Penyederhanaan ini mempermudah dan mempercepat penyaluran pupuk tepat sasaran. Dampaknya langsung ke produksi pangan dan kesejahteraan petani,” kata Hilmi.
Pupuk sebagai Instrumen Pemulihan
Dalam konteks pascabencana, pupuk bukan lagi sekadar sarana produksi. Ia menjadi penanda kehadiran negara di sawah-sawah yang nyaris luput dari sorotan publik.
Distribusi pupuk berbasis data aktual—didukung citra satelit, regulasi yang dipangkas, dan keputusan yang dipercepat—membantu memastikan bahwa bantuan negara tidak salah sasaran. Sawah yang masih bisa diselamatkan mendapat dukungan tepat waktu. Petani memperoleh kesempatan mengejar musim tanam yang tersisa.

Di titik ini, pupuk bekerja bukan hanya untuk meningkatkan hasil panen, tetapi untuk menahan laju kerentanan ekonomi pedesaan.
Menjaga Pangan dengan Data dan Kecepatan
Ketahanan pangan tidak selalu runtuh di sawah. Ia sering kali ditentukan di ruang pengambilan keputusan. Ketika data datang terlambat, pupuk ikut terlambat. Ketika pupuk terlambat, musim tanam hilang. Dan ketika musim hilang, bencana berubah menjadi krisis.
Melalui pemanfaatan citra satelit—sebagaimana didorong oleh BPS dan disuplai oleh BRIN—negara mencoba memotong rantai keterlambatan itu, agar kebijakan pangan dapat diterjemahkan cepat hingga ke distribusi pupuk di lapangan oleh Pupuk Indonesia.
Sebagaimana ditegaskan Kepala BPS, tujuan akhirnya bukan sekadar inovasi statistik, melainkan pembangunan ekonomi regional yang adaptif dan berbasis bukti.
Bagi petani di Sumatra, adaptif berarti satu hal sederhana: pupuk datang sebelum musim benar-benar pergi.
Sebab pada akhirnya, ketahanan pangan ditentukan oleh seberapa cepat negara mengubah data menjadi pupuk, dan pupuk menjadi waktu bagi petani. (***)
Jurnalis/Editor: Djoni Satria

Komentar