Nasional
Beranda » Berita » Diusulkan Bahlil, Pengamat: Koalisi Permanen Ancaman Bagi Demokrasi

Diusulkan Bahlil, Pengamat: Koalisi Permanen Ancaman Bagi Demokrasi

Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul Jakarta M Jamiluddin Ritonga. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)
Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul Jakarta M Jamiluddin Ritonga. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA INDONESIA – Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia mengusulkan membentuk koalisi permanen untuk mewujudkan stabilitas politik di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto bukanlah hal baru.

Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul Jakarta M Jamiluddin Ritonga melihat usulan semacam itu sesungguhnya sudah berulang diusulkan elite politik. Hanya saja usulan tersebut belum juga terealisasi.

"Hal itu terjadi karena memang tidak mudah untuk membentuk koalisi permanen. Sebab koalisi permanen membutuhkan kesepahaman yang kuat antara partai-partai yang berkoalisi. Hal ini sulit dicapai karena masing-masing partai memiliki ideologi kepentingan, dan agenda yang berbeda. Jadi, untuk menyatukan partai-partai dalam koalisi permanen memang tidak mudah. Kalau pun dapat terbentuk biasanya rapuh, terutama karena kerapkali terbentur pada agenda masing-masing partai yang umumnya ingin berkuasa," ungkap Jamil, Ahad (07/12/2025) petang.

Selain itu, lanjut Jamil, koalisi permanen juga menjadi ancaman demokrasi di tanah air. Sebab, koalisi permanen dapat melahirkan monopoli kekuasaan.

"Ketika koalisi permanen terlalu dominan, partai-partai di luar koalisi menjadi tidak memiliki kekuatan untuk mengawasi dan mengkritisi pemerintah. Akibatnya dapat melemahkan checks and balances. Padahal checks and balances merupakan esensial dalam demokrasi," tandas mantan Dekan Fikom IISIP Jakarta ini.

ITC Bersama Polres Depok Buka Pos Pengamanan Malam Tahun Baru, Dukung Rayakan Tanpa Kembang Api

Kalau hal itu terjadi, Jamil melihat dapat mengurangi dinamika politik yang sehat. Politik bisa menjadi stagnan dan kurang responsif terhadap perubahan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.

"Bahkan koalisi permanen berpeluang melahirkan kartel politik. Kalau ini terjadi, hanya partai tertentu saja yang dapat mengatur pemerintahan. Partai yang tidak masuk kartel akan sulit bersaing, dan berakibat demokrasi menjadi tidak sehat. Jadi, melalui koalisi permanen memang dimungkinkan pemerintahan menjadi lebih stabil. Stabilitas diperlukan untuk memastikan kebijakan jangka panjang dapat dilaksanakan dengan konsisten dan berkesinambungan," imbuhnya.

Namun Jamil mempertanyakan untuk apa semua itu bila koalisi permanen dapat melorotkan kualitas demokrasi?

Sementara bangsa ini sudah sepakat demokrasi harga mati. Karena itu, koalisasi apa pun yang akan dibentuk haruslah yang dapat menguatkan kualitas demokrasi.

"Karena itu, keinginan untuk membuat koalisi permanen perlu dikaji ulang. Sebab, koalisi permanen berpeluang mengancam kualitas demokrasi. Hal ini tentu tidak diinginkan para reformis negeri tercinta," pungkas Jamil. (***)

Rakernas PMSM Indonesia Susun Strategi Unggul Perkuat Daya Saing Global