Gaya Hidup
Beranda » Berita » Batik Depok sebagai Kanvas Budaya Kota Urban

Batik Depok sebagai Kanvas Budaya Kota Urban

Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI berfoto bersama dengan Ketua Dekranasda Kota Depok, Siti Barkah Hasanah. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA INDONESIA — Di tengah laju urbanisasi yang kian cepat, Kota Depok terus mencari pijakan identitas kulturalnya. Depok, yang merupakan salah satu kota satelit Ibu Kota Jakarta, dihuni oleh masyarakat multi etnis.

Jumlah penduduk Kota Depok, menurut data BPS 2022 tercatat 2.123.349 jiwa, dengan jumlah Suku Betawi sebanyak 36%, Jawa 35%, Sunda 19%, dan Minang 8% (Berita Depok, 13 April 2022).

Dinamika urbanisasi dan heterogenitas etnis tersebut sekaligus menghadirkan persoalan kultural yang tidak sederhana bagi Kota Depok.

Di satu sisi, Kota Depok berada dalam orbit budaya Betawi yang kuat karena kedekatan geografis dan historisnya dengan Jakarta, di sisi lain, komposisi demografis yang didominasi oleh pendatang, terutama dari masyarakat beretnis Jawa. Kondisi tersebut menghadirkan ekspresi budaya lokal Kota Depok kerap tampak cair, bahkan kabur.

Dalam situasi ini, Kota Depok menghadapi tantangan untuk merumuskan identitas kulturalnya sendiri: apakah ia sekadar perpanjangan budaya Jakarta, atau sebuah kota urban dengan narasi budaya yang khas dan berakar pada pengalaman historis serta sosialnya sendiri.

Duka Sumatera, Margocity Tidak Gelar Pesta Kembang Api di Malam Tahun Baru

Perumusan identitas Kota Depok ini penting bagi generasi yang lahir di Kota Depok dari orang tua mereka yang merupakan komunitas diaspora di kota Depok.

Salah satu gagasan yang diinisiasi oleh Universitas Indonesia (UI) adalah upaya memperkuat dan menegaskan identitas kultural Kota Depok ini melalui pengembangan Batik Depok sebagai simbol budaya kota.

Ide ini berangkat dari pengamatan Dr. Ade Solihat, S.S., M.A., seorang pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, terhadap praktik membatik dengan motif Batik Depok yang sudah tumbuh dan dikembangkan oleh para diaspora Jawa di Kota Depok sejak 2007.

Melihat praktik kultural yang hidup di tengah masyarakat tersebut, Ade Solihat memandang Batik Depok memiliki potensi strategis untuk dikembangkan lebih lanjut, bukan semata sebagai produk seni kriya, melainkan sebagai medium inventing culture—sebuah proses perumusan kebudayaan yang sadar dan reflektif.

Dalam perspektif ini, Batik Depok menjadi narasi visual yang merekam sejarah, ingatan kolektif, serta dinamika masyarakat urban Kota Depok yang majemuk, sekaligus menawarkan cara bagi warga kota ini untuk menegaskan identitas kulturalnya yang selama ini cenderung tidak dapat diungkapkan dengan sederhana.

Depok Ikuti Jakarta, Larang Pesta Kembang Api saat Malam Tahun Baru

Gagasan ini disampaikan dalam agenda audiensi bersama Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kota Depok, Siti Barkah Hasanah, M.Ag pada Jumat 19 Desember 2025.

Pakar komunikasi korporat, Dr. Leila Mona Ganiem, M.Si. menegaskan pentingnya strategi komunikasi yang tepat dalam memperkenalkan Batik Depok kepada generasi muda.

Menurutnya, Batik Depok—sebagai hasil persilangan sejarah dan kebudayaan warga kota—perlu dikemas dan dikomunikasikan selaras dengan minat serta gaya hidup Generasi Z, khususnya dalam ranah gaya dan fashion.

Pendekatan ini dinilai penting agar Batik Depok tidak dipersepsikan sebagai produk budaya yang berjarak dengan kehidupan anak muda, melainkan sebagai ekspresi identitas urban yang relevan, modern, dan dapat dikenakan dalam keseharian masyarakat muda Kota Depok.

Dalam sambutannya Cing Ikah, –demikian panggilan akrab Ketua Dekranasda Depok– menjelaskan bahwa Dekranasda selama ini turut menghidupkan Batik Depok yang kelahirannya sudah ada sejak 2007.

Beredar Foto Liburan Diduga Ridwan Kamil dan Aura Kasih di Luar Negeri

Meskipun Cing Ikah baru saja menjabat sebagai Ketua Dekranasda kurang dari setahun, namun sebagai pendamping Bapak Supian Suri, Wali Kota Depok sekarang, Ia melihat proses pertumbuhan dan perkembangan Batik Depok ini.

“Motif-motif Batik Depok tidak tumbuh dari tradisi lama membatik, melainkan dari upaya sadar masyarakat urban untuk membangun identitas bersama melalui simbol-simbol kota, seperti jembatan, bangunan tua, flora-fauna lokal, hingga ruang-ruang sosial Kota Depok,” demikian menurut Cing Ikah.

Ada empat pengrajin Batik Depok, yang selama ini mendapatkan pendampingan dan dukungan dari Dekranasda Kota Depok.

Pandemi Covid-19 sempat membuat geliat Batik Depok meredup. Produksi menurun drastis, pengrajin kehilangan ruang pamer, dan jaringan pemasaran terputus.

Kondisi ini tidak hanya berdampak secara ekonomi, tetapi juga mengancam keberlanjutan pengetahuan dan keterampilan membatik yang telah dibangun bertahun-tahun oleh komunitas lokal Kota Depok.

Cing Ikah berharap, Batik Depok diproduksi dari ide-ide yang datang dari warga Kota Depok dan diproduksi oleh para pengrajin warga di Kota Depok.

Oleh karena itu, Cing Ikah menegaskan sambutannya atas tawaran kerja sama UI dalam membangun Batik Depok sebagai bagian dari identitas kultural Kota Depok.

Bukan sekadar komoditas ekonomi, menurutnya, penguatan Batik Depok sejalan dengan upaya membangun kebanggaan warga terhadap sejarah dan kebudayaannya sendiri.

“Batik Depok adalah cermin perjalanan kota ini. Ketika batik dirawat, sejatinya kita sedang merawat identitas dan memori kolektif warga Depok,” jelasnya.

Ini juga sejalan dengan program Pemerintah Kota (Pemkot) Depok yang sedang merencanakan pembangunan wilayah Depok Lama, yang pernah menjadi pemukiman Komunitas Belanda, sebagai heritage Kota Depok.

“Lebih dari sekadar program pengabdian masyarakat, kolaborasi ini diarahkan untuk membangun kerja sama pentahelix, dan kesadaran bahwa kebudayaan dapat menjadi fondasi pembangunan kota,” demikian Ade Solihat dalam uraian terakhirnya. (***)

Editor: Rusdy Nurdiansyah
Email: rusdynurdiansyah69@gmail.com

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *