RUZKA INDONESIA — Kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang menjerat mahasiswa Indonesia di Jerman menjadi peringatan serius bahwa praktik perdagangan orang kini menyasar kelompok yang selama ini dianggap relatif aman dan terdidik.
Merespons kondisi tersebut, Universitas Indonesia (UI) menginisiasi pembuatan website STOP Perdagangan Orang (STOPPO) sebagai media edukasi dan pencegahan bagi mahasiswa dan generasi muda.
Inisiatif ini berangkat dari diskusi bertajuk “TPPO yang Menjerat Mahasiswa di Jerman” yang mengulas berbagai temuan lapangan terkait modus eksploitasi berkedok program kerja sambil kuliah dan magang internasional.
Dalam diskusi yang diselenggarakan di FIB UI, pada Selasa 25 November 2025 ini, terungkap bahwa para korban mengalami jam kerja berlebihan, pemotongan upah, penahanan dokumen, hingga ancaman deportasi.
Penggagas inisiatif STOPPO dari Universitas Indonesia, Dr. Ade Solihat, S.S., M.A. menegaskan bahwa kasus ini menunjukkan perubahan wajah perdagangan orang di era mobilitas global.
“Perdagangan orang hari ini tidak selalu hadir dalam bentuk kekerasan fisik yang kasat mata. Ia sering kali menyusup melalui janji pendidikan, pengalaman internasional, dan tawaran kerja yang tampak legal,” ungkap Ade dalam keterangan yang diterima, Selasa (30/12/2025).
Menurut Ade, rendahnya literasi migrasi membuat mahasiswa dan generasi muda kerap tidak menyadari bahwa situasi yang mereka hadapi sudah masuk dalam kategori TPPO.
“Banyak korban baru menyadari dirinya dieksploitasi ketika sudah berada di luar negeri, dalam posisi yang sangat rentan dan sulit meminta bantuan,” terangnya.
Website STOPPO dirancang sebagai platform informasi terpadu yang menyediakan pengetahuan tentang modus-modus TPPO, panduan migrasi aman, dokumentasi kasus, serta rujukan lembaga pendampingan dan perlindungan.
Platform ini diharapkan menjadi ruang belajar bersama sekaligus alat pencegahan dini bagi mahasiswa dan calon pekerja migran.
Aktivis perlindungan migran Indonesia di luar negeri, Arjun Roy, dalam diskusi tersebut menyebut ketergantungan pada agen atau perantara sebagai faktor utama kerentanan mahasiswa.
“Banyak mahasiswa tidak memiliki akses informasi yang memadai. Mereka percaya sepenuhnya pada agen, tanpa mengetahui risiko dan hak-hak mereka sebagai pekerja atau peserta program,” jelas Arjun.
Ia menambahkan, sebagian besar korban enggan melapor karena takut status hukumnya bermasalah.
“Ancaman deportasi dan tekanan psikologis membuat korban memilih diam, padahal mereka sedang dieksploitasi,” kata Arjun.
Berdasarkan temuan diskusi, kasus TPPO mahasiswa Indonesia di Jerman melibatkan lebih dari seribu korban dari puluhan perguruan tinggi di Indonesia.
Eksploitasi tersebut tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi, tetapi juga meninggalkan trauma psikologis jangka panjang.
Melalui inisiatif website STOPPO, UI berharap dapat memperkuat peran perguruan tinggi dalam perlindungan kemanusiaan.
“Kampus tidak boleh hanya berfokus pada capaian akademik, tetapi juga hadir melindungi mahasiswa dari risiko sosial yang nyata di era globalisasi,” pungkas Ade. (***)
Editor: Rusdy Nurdiansyah
Email: rusdynurdiansyah69@gmail.com

Komentar