RUZKA INDONESIA — Bakul Budaya, komunitas inklusif yang lahir di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI), telah memberi apresiasi kepada Rosita Istiawan sebagai Perempuan Berdaya, Berkarya, dan Inspiratif di bidang pelestarian lingkungan hidup. Apresiasi itu disampaikan dalam rangka Hari Ibu Nasional tahun ini, 22 Desember 2025.
Salah satu hari istimewa dalam sejarah perjuangan perempuan Indonesia itu diperingati oleh Bakul Budaya lebih awal, yaitu pada Sabtu, 20 Desember 2025, di Auditorium Tjan Tjoe Som, Gedung IV FIB, Kampus UI, Depok, Jawa Barat.
Temanya, “Persembahan Bakul Budaya untuk Para Perempuan Hebat.” Tema tersebut selaras dengan tema nasional Hari Ibu Nasional 2025, yaitu “Perempuan Berdaya dan Berkarya, Menuju Indonesia Emas 2045.”
Hari Ibu Nasional 2025 berlatar sejarah perjuangan pemberdayaan perempuan Indonesia melalui penyelenggaraan Kongres Perempuan I, yang diadakan pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta. Pada masa pemerintahan Soekarno, berdasarkan Keputusan Presiden No. 316 Tahun 1959, hari pertama kongres itu menjadi Hari Ibu.
Dengan latar belakang sejarah tersebut, Hari Ibu Nasional diperingati untuk terus menjaga asa dan upaya pemajuan perempuan Indonesia dari lingkup keluarga hingga tingkat masyarakat, masa demi masa. Dengan kata lain, makna Hari Ibu lebih luas daripada Mother’s Day di dunia internasional, bukan tentang ibu yang melahirkan anak dan hubungan ibu-anak saja.
Rosita Istiawan, dengan Hutan Organik Megamendung-nya, merupakan salah seorang perempuan Indonesia saat ini yang bekerja nyata melestarikan lingkungan hidup, di tengah pengrusakan alam besar-besaran dan bencana ekologis di negeri ini.
Terkait tema “Persembahan Bakul Budaya untuk Para Perempuan Hebat,” Bakul Budaya memberinya apresiasi sebagai Perempuan Berdaya, Berkarya, dan Inspiratif di bidang pelestarian lingkungan hidup. Hal itu juga sesuai dengan “Merawat Bumi,” satu dari empat misi Bakul Budaya.
Apresiasi tersebut disampaikan oleh Ketua Umum Bakul Budaya, Dewi Fajar Marhaeni, kepada Rosita.
“Ini (kerja nyata Rosita) bukan main-main, ini bukan omong kosong. Seperti kata Ibu Rosita, kita, dari yang sederhana, bisa berbuat untuk Bumi kita. Dari Ibu Rosita kita belajar bagaimana seorang perempuan juga bisa berbuat banyak untuk keberlanjutan Bumi yang akan kita wariskan bagi generasi penerus,” tutur Dewi sebelum menyerahkan cenderamata, buket bunga, dan hadiah kepada Rosita.
“Kita bisa menanam pohon untuk Bumi kita. Menanam dan merawat, bukan menanam dan meninggalkan,” imbuh Dewi.
Kerja Nyata Dua Dekade Lebih
Sejarah keberadaan Hutan Organik Megamendung dimulai pada akhir 1990-an. Ketika itu, Rosita dan suaminya, (almarhum) Bambang Istiawan, membeli 2.000 m2 tanah tandus bekas kebun teh yang telantar di Megamendung, Jawa Barat.
Mereka tergerak untuk menyelamatkan lingkungan hidup di sana, yang ketika itu telah rusak, terutama karena penebangan hutan menjadi lahan bangunan dan perkebunan. Tanah tersebut ketika itu, dengan pH 2-4, sangat asam, tidak bisa ditanami. Mata air pun bisa dibilang tak ada.
Pada tahun 2000, dibantu anak bungsu mereka, Rosita dan Bambang mulai menggarap tanah tandus tersebut. Setelah tanah itu mereka rawat, sebagiannya mereka tanami dengan pohon keras dan sebagiannya lagi dengan tumbuhan sayur-mayur, buah-buahan, dan obat-obatan. Dalam bercocok-tanam, mereka menggunakan pupuk organik, antara lain dari kotoran hewan.
Dari tahun ke tahun, kerja nyata mereka pun melahirkan sesuatu yang manis, walaupun bukan tanpa pengalaman pahit-getir, antara lain menghadapi calo tanah.
Di tanah yang luasnya sudah bertambah menjadi 30 hektar itu, kini terlihat hutan pohon keras; tumbuhan sayur-mayur, buah-buahan, dan obat-obatan; serta danau dari mata air yang muncul.
Disebut, hutan itu mencakup tak kurang dari 44.000 pohon keras dengan lebih dari 120 jenis pohon, antara lain mahoni dan kenari. Disebut pula, puluhan jenis fauna hidup di sana.
“(Hutan) ini akan dikembalikan lagi ke Bumi. Dari 44.000 pohon, (hutan) akan dikembalikan seperti semula,” ucap Rosita dalam sambutannya setelah menerima apresiasi dari Bakul Budaya.
“Hancurnya Bogor, hancurnya Puncak, karena orang membeli (tanah), walaupun cuma 1.000 m2, pasti dibikin vila dan resor, enggak ada pohonnya, ditebang semua oleh mereka. Tapi, kalau banjir, kalau hujan tiga jam, banjir kiriman ke Bogor,” sambung Rosita, yang menetap di Bogor, Jawa Barat, sebelum pindah ke Megamendung.
Selain berfungsi sebagai pembersih udara, peneduh, penabung air tanah, habitat fauna, serta penyedia bahan pangan dan obat-obatan, Hutan Organik Megamendung juga menjadi laboratorium alam bagi mereka yang ingin belajar tentang lingkungan hidup dan bagaimana melestarikannya.
Rosita mengatakan bahwa siapa saja boleh datang ke Hutan Organik Megamendung. Namun, tekannya, “(Di sana) Harus menanam pohon.”
Ia juga mensyaratkan, tinggi anakan pohon keras yang akan ditanam harus sekurangnya satu meter. Berdasarkan pengalamannya, kalau tingginya cuma 25 cm, anakan pohon itu akan ikut terlibas bersama rumput yang dicabut atau alang-alang yang ditebas. Sambungnya, supaya tak mati sia-sia, pohon itu harus dipelihara, bukan ditinggalkan sehabis ditanam. Ia bersama sejumlah warga setempat yang merawatnya.
Sesi Apresiasi Bakul Budaya untuk Rosita Istiawan, yang didahului dengan penayangan video tentang dirinya dan sepak-terjangnya, merupakan penghujung dan puncak rangkaian acara memperingati Hari Ibu Nasional 2025 oleh Bakul Budaya.
Dalam sambutannya setelah menerima apresiasi dari Bakul Budaya, Rosita juga mengatakan bahwa ia “cuma” ibu rumahtangga yang berkomitmen bersama keluarganya untuk memberi manfaat bagi diri, keluarga, dan orang lain.
Rosita juga berpesan kepada kaum muda.
“Cintai lingkungan hidup, tanamlah pohon,” ujarnya.
Menghibur dan Mengharukan
Rangkaian acara memperingati Hari Ibu Nasional 2025 oleh Bakul Budaya digulirkan dari pagi hingga siang. Menyanyikan Lagu Kebangsaan “Indonesia Raya” tiga stanza dan berdoa bersama menjadi pembuka. Setelahnya, sambutan disampaikan oleh Ketua Umum Bakul Budaya, Dewi Fajar Marhaeni, dan Dekan FIB UI, Dr. Untung Yuwono, S.S.
Tari Siri Pinang dari Nusa Tenggara Timur, yang merupakan tari penghormatan untuk para tamu, dibawakan sebagai tari pembuka oleh Anggun, Hani, Icha, Kayla, dan Nia dari Bakul Budaya. Selanjutnya, Kayla membacakan literasi mengenai Hari Ibu Nasional.
Berikutnya, dialirkanlah tari tradisional dan kreasi, puisi, dan nyanyian, juga oleh para anggota Bakul Budaya. Ada yang tampil perorangan, ada pula yang bersama teman sesama anggota Bakul Budaya atau kerabat dekat.
Tari Gambyong dari Surakarta, Jawa Tengah dibawakan oleh trio kakak-beradik Wiwik-Priska dan teman mereka, Endang. Duo pertemanan Icha dan Naima melantunkan “Cinta untuk Mama.”
Jaipong Cinta Nusa dari Jawa Barat ditarikan oleh Bida (ibu) dan Reina (anak). Melody menyuguhkan tari kreasi Kalimantan. Puisi “Ibu” karya Chairil Anwar disajikan oleh Namiyah.
Tari Yapong karya Bagong Kussudiardja dipertunjukkan oleh tiga generasi–Emma (ibu), Emmy (nenek), dan Lovena (anak).
Dua lagu, “Kasih Ibu” karya Mochtar Embut dan “Karena Wanita (Ingin Dimengerti) karya Krishna Balagita, dinyanyikan oleh Svara Bakul Budaya, paduan suara Bakul Budaya. Beti lalu tampil dengan puisi karyanya, “Perempuan, Bidadari, dan Ibuku.”
Sebagian yang hadir tampak terharu, hingga mata mereka basah, terutama ketika mendengarkan puisi dan nyanyian yang membuat mereka terkenang akan perempuan hebat yang telah tiada dalam kehidupan mereka.
Suasana mengharukan berlanjut ketika rangkaian acara masuk ke sesi “Persembahan Bakul Budaya untuk.Para Perempuan Hebat.”
Sejumlah anggota Bakul Budaya memberi cenderamata kepada para perempuan hebat dalam kehidupan mereka–ibu, tante, kakak, atau saudara sepupu.
Lalu, “Melati Suci” karya Guruh Soekarnoputra dibawakan oleh Svara Bakul Budaya sebelum penayangan video yang diproduksi dan dipublikasi oleh National Geographic Indonesia mengenai Rosita Istiawan dan kerja nyatanya di bidang pelestarian lingkungan hidup, menjelang Rosita mendapat kejutan, menerima Apresiasi Bakul Budaya sebagai Perempuan Berdaya, Berkarya, dan Inspiratif di bicang lingkungan hidup.
Selamat Hari Ibu Nasional 2025. (***)
Editor: Rusdy Nurdiansyah

Komentar