
RUZKA-REPUBLIKA NETWORK — Di sudut-sudut jalan Kota Depok, mereka hadir setiap hari, mengantar pesanan makanan, menjemput penumpang, membawa paket, memproduksi konten digital di ruang-ruang sempit apartemen, atau di kedai-kedai kopi.
Mereka bekerja tanpa seragam perusahaan, tanpa meja kantor, bahkan tanpa bos.
Namun, di balik layar ekonomi digital yang terus bergerak, para pekerja gig ini sering berada di ruang abu-abu perlindungan sosial.
Pekerja gig adalah individu yang bekerja secara independen untuk proyek-proyek jangka pendek atau temporer, sering kali menggunakan platform digital, tanpa ikatan hubungan kerja tetap seperti karyawan tradisional.
Istilah ini merujuk pada orang yang bekerja "sesuai permintaan" (on-demand) dan memiliki fleksibilitas dalam menentukan waktu dan tempat kerjanya.
Baca juga: MUC 2025: Mendorong Transformasi Digital Tambang Indonesia
Contoh pekerjaan gig mencakup pengemudi ojek daring, desainer grafis lepas, pengantar makanan, penulis lepas, dan konsultan.
Fenomena pekerja lepas atau gig worker kian menantang sistem ketenagakerjaan formal. Mereka bukan karyawan tetap, tapi juga bukan penganggur. Pendapatannya fluktuatif, statusnya cair, dan risiko kerjanya tinggi. Dalam kondisi seperti ini, BPJS Ketenagakerjaan Depok memilih untuk tidak tinggal diam.
“Fenomena gig economy memang menjadi tantangan tersendiri dalam perluasan perlindungan jaminan sosial, karena para pekerja di sektor ini tidak memiliki pemberi kerja tetap dan penghasilannya cenderung fluktuatif,” ujar Novarina Azli, Kepala BPJS Ketenagakerjaan Depok saat berbincang dengan RUZKA INDONESIA di kantornya, Rabu (12/11/2025).
Baca juga: Lebah Menuntun Tiga Buah Hati Berkuliah Hingga S2
Dari Ojol Hingga Freelancer: Perlindungan Sosial yang Didekatkan
Selama ini, perluasan kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan kerap terkonsentrasi pada sektor formal; pabrik, kantor, dan perusahaan. Namun, di Depok, arah strategi mulai bergeser. Fokus kini tertuju pada pekerja informal dan mandiri, termasuk pengemudi ojek daring, kurir logistik, hingga kreator digital.
“Kami menggandeng platform digital dan asosiasi profesi seperti komunitas ojek daring, kurir logistik, hingga pekerja lepas kreatif, agar mereka dapat mendaftar secara kolektif,” kata Nova. Langkah ini bukan hanya soal angka, tapi juga tentang membangun kesadaran.
Melalui pendekatan komunitas dan kerja sama dengan platform, BPJS Ketenagakerjaan Depok mencoba menembus dinding psikologis yang selama ini membatasi pekerja gig untuk mendaftar: rasa bahwa perlindungan sosial bukan prioritas, atau bahkan tidak relevan bagi mereka.
Padahal, risiko kerja justru lebih besar di sektor ini, mulai dari kecelakaan lalu lintas hingga kehilangan penghasilan mendadak karena sakit.
Baca juga: PWI Depok Gelar Lomba Menulis dan Baca Puisi Tingkat Pelajar, Ekspresi Merinding Generasi Bergizi
Digitalisasi Sebagai Jalan Baru
Jika dulu proses pendaftaran dan pembayaran iuran hanya bisa dilakukan lewat kantor cabang, kini segalanya berpindah ke layar ponsel. Aplikasi Jamsostek Mobile (JMO) menjadi jembatan digital bagi pekerja mandiri yang ingin mendaftar, membayar iuran, hingga mengakses manfaat tanpa harus antre.
“BPJS Ketenagakerjaan terus mendorong pemanfaatan layanan digital seperti aplikasi JMO untuk memberikan kemudahan bagi pekerja mandiri dalam mendaftar, membayar iuran, dan mengakses manfaat secara fleksibel, kapan pun dan di mana pun,” jelasnya.
Digitalisasi ini bukan sekadar adaptasi teknologi, tapi strategi menjangkau segmen pekerja yang hidupnya juga serba digital.
Lebih lanjut katanya, aplikasi JMO memungkinkan seorang pengemudi ojek online di Sawangan, Depok misalnya, mendaftar dan membayar iuran hanya dalam hitungan menit. Tidak perlu datang ke kantor, tidak perlu repot mengisi formulir kertas, kapan pun dan dimana pun.
Dengan cara ini, BPJS Ketenagakerjaan Depok mencoba menjemput bola, menghadirkan perlindungan sosial tepat di genggaman mereka yang sering luput dari radar negara.
Baca juga: Negeri Tanpa Jam Kantor: Hidup di Era Gig Economy
Integrasi Data: Menuju Layanan Sosial yang Terpadu
Tantangan lain yang kini digarap serius oleh BPJS Ketenagakerjaan Depok adalah integrasi data lintas lembaga.
“Kami terus memperkuat kolaborasi lintas lembaga, termasuk dengan Pemerintah Kota Depok, Dinas Tenaga Kerja, dan BPJS Kesehatan, terutama dalam hal integrasi data dan optimalisasi perluasan kepesertaan,” ungkapnya.
Langkah ini menjadi krusial karena selama ini data kepesertaan jaminan sosial di berbagai lembaga masih tersebar dan tumpang tindih.
Dengan sinkronisasi data, masyarakat ke depan diharapkan bisa memperoleh pelayanan jaminan sosial yang lebih terintegrasi antara aspek kesehatan dan ketenagakerjaan. Dalam jangka panjang, kolaborasi ini diharapkan menjadi fondasi menuju sistem perlindungan sosial terpadu di Kota Depok.
Bayangkan, ketika seorang warga Depok terdaftar di BPJS Kesehatan, otomatis datanya bisa terhubung ke BPJS Ketenagakerjaan.
Tidak perlu pendaftaran ulang, tidak perlu dua kali proses verifikasi. Sebuah ekosistem perlindungan sosial yang lebih efisien dan manusiawi.
Baca juga: Mendorong Kemandirian Ekonomi Desa, Komitmen Astra Melalui Desa Sejahtera Astra Bajawa
Menatap 2026: Perlindungan untuk Semua
Target BPJS Ketenagakerjaan Depok ke depan jelas: memperluas cakupan kepesertaan hingga menjangkau seluruh segmen pekerja nonformal.
Meski belum diungkapkan secara rinci dalam angka, arah kebijakan ini menunjukkan bahwa BPJS Ketenagakerjaan Depok tak lagi sekadar mengejar jumlah peserta, melainkan memperkuat kesadaran kolektif akan pentingnya perlindungan kerja.
Nova melanjutkan, untuk mewujudkan itu, strategi kolaboratif dan digitalisasi layanan menjadi dua roda utama. Kolaborasi membuka akses, digitalisasi mempercepat jangkauan.
Namun di balik strategi tersebut, semangat utamanya tetap sama: memastikan setiap pekerja, apa pun statusnya, terlindungi.
“Karena perlindungan sosial seharusnya tidak mengenal batas seragam, kontrak, atau jenis pekerjaan,” paparnya.
Baca juga: Kurangi Kemacetan, Anggota DPRD Depok Ubaidillah Sarankan Percepatan Pembangunan Jalan Limo-Cinere
Menjadi Model Kota Inklusif
Depok memiliki potensi besar menjadi percontohan kota yang berhasil mengintegrasikan sistem jaminan sosial antara lembaga, sekaligus melindungi pekerja sektor nonformal. Dengan pertumbuhan pesat sektor jasa, logistik, dan kreatif, tantangan di kota ini merepresentasikan wajah baru dunia kerja Indonesia.
Langkah-langkah inovatif yang dilakukan BPJS Ketenagakerjaan dari digitalisasi JMO hingga kolaborasi dengan Pemerintah Kota Depok dan BPJS Kesehatan Depok bisa menjadi model nasional dalam memperluas perlindungan di era ekonomi digital.
Arah Baru Perlindungan Sosial
Di masa depan, batas antara pekerja formal dan informal mungkin kian kabur. Yang tetap penting adalah jaminan bahwa siapa pun yang bekerja memiliki hak atas perlindungan sosial yang layak.digital
BPJS Ketenagakerjaan Depok sedang membangun fondasi ke arah itu melalui inovasi, kolaborasi, dan adaptasi digital.
Langkah-langkah kecil ini bisa jadi awal dari perubahan besar, perlindungan sosial yang benar-benar inklusif, tidak hanya untuk mereka yang punya bos, tapi juga bagi mereka yang bekerja untuk dirinya sendiri, pungkas Nova menutup perbincangan. (***)
Penulis: Djoni Satria / Wartawan Senior
