
RUZKA-REPUBLIKA NETWORK — Suasana pasar tradisional Kemiri Muka, Depok di pagi hari selalu riuh. Para pedagang aneka barang menggelar dagangan, kurir pengantar paket dan ojek daring mondar-mandir mengantar pesanan, sementara sebagian besar dari mereka belum sepenuhnya sadar bahwa di balik kesibukan harian, ada risiko kerja yang bisa datang tanpa aba-aba.
Namun kini, perlahan kondisi itu berubah. Data terbaru per 31 Oktober 2025 menunjukkan, jumlah peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan Depok telah memcapai 197 ribu orang.
“Sementara total peserta aktif Bukan Penerima Upah (BPU) per 3 November 2025 di BPJS Ketenagakerjaan Depok adalah 50 ribu orang,” kata Kepala BPJS Ketenagakerjaan Depok, Novarina Azli kepada ruzkaindonesia.id saat wawancara tertulis, di Depok, (7/11/25).
Ia, menyebut peningkatan angka ini belum melonjak drastis, tetapi menunjukkan bahwa kesadaran pekerja informal terhadap perlindungan sosial mulai tumbuh.
Baca juga: Polri Berikan Trauma Healing, Pulihkan Trauma Keluarga Korban SMAN 72 Jakarta
“Tahun ini belum ada lonjakan signifikan dari jumlah peserta, namun tingkat kesadaran masyarakat terus meningkat. Ini menjadi dasar kami memperluas edukasi dan kolaborasi,” ujarnya.
Dominasi Pekerja Formal, tetapi Informal Terus Bertumbuh
Dari total peserta aktif di Depok, komposisinya didominasi pekerja formal atau Penerima Upah (PU) sebesar 62,87 persen. Disusul pekerja informal (BPU) dengan 25,73 persen, dan jasa konstruksi (JAKON) sebesar 11,40 persen. Segmen pekerja migran Indonesia (PMI) saat ini belum tercatat secara signifikan.
Sektor informal BPU yang mendominasi kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan Depok berasal dari pedagang, pekerja transportasi seperti ojek daring, hingga guru dan pelaku UMKM. Mereka menjadi bagian tulang punggung ekonomi kota, tetapi sekaligus yang paling rentan ketika sakit, mengalami kecelakaan kerja, atau meninggal dunia tanpa perlindungan.
Baca juga: Pemkot Depok Tingkatkan Kapasitas Bendahara Koperasi Kelurahan Merah Putih
Dana Klaim Capai Rp570 Miliar Lebih
Manfaat perlindungan sosial ini bukan sekadar angka di atas kertas. Sepanjang 2025, BPJS Ketenagakerjaan Depok telah membayarkan klaim dengan total lebih dari Rp570 miliar, meliputi:
Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK): Rp44,7 miliar.
Jaminan Kematian (JKM): Rp16,6 miliar.
Jaminan Hari Tua (JHT): Rp509, 2 miliar.
Angka tersebut menjadi bukti bahwa program ini benar-benar berjalan dan memberi dampak ekonomi nyata bagi keluarga pekerja ketika risiko datang.
Bukti bahwa program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) memberikan manfaat yakni ketika seorang pengawas Tempat Pemungutan Suara (TPS) 107, Kelurahan Sukamaju, Kecamatan Cilodong, Willyani, mengalami kecelakaan saat bertugas di Pemilu 2024 lalu. Seluruh biaya pengobatan, operasi, hingga terapi ditanggung BPJS Ketenagakerjaan Depok dan Pemerintah Kota Depok sebesar Rp122 juta.
Lebih lanjut katanya, 28 Agustus 2025 lalu, BPJS Ketenagakerjaan Depok menyerahkan simbolis santunan kepada ahli waris manfaat program berupa Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun dan Beasiswa kepada 2 orang anak sebesar Rp221 juta sebagai ahli waris karyawan Koperasi Sehati Muamalah Barokah yang meninggal dunia.
Baca juga: RSUD ASA Depok Gelar Bakti Sosial Intervensi Nyeri Bersama FK Unpad
Dalam kasus lain, pada 27 Oktober 2025 lalu, Pemkot bersama BPJS Ketenagakerjaan Depok, ahli waris pekerja rentan memperoleh santunan kematian sebesar Rp42.000.000,-
BPJS Ketenagakerjaan Depok dan Pemerintah Kota Depok bersinergi untuk mengimplementasikan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2021 tentang optimalisasi program BPJS Ketenagakerjaan di daerah untuk kesejahteraan para pekerja, baik sektor formal maupun informal.
Tantangan: Iuran Dianggap Beban, Bukan Perlindungan
Meski demikian, perluasan kepesertaan tidak lepas dari tantangan. Banyak pekerja informal yang masih menganggap iuran BPJS Ketenagakerjaan sebagai beban baru.
"Kesadaran membayar iuran secara mandiri masih menjadi tantangan utama. Meski sebagian pekerja sudah paham manfaatnya, tetapi belum konsisten,” tutur Novarina.
Masih kata Novarina, dalam hal kebijakan, Depok sebenarnya cukup progresif. Pemerintah Kota Depok telah menerbitkan Peraturan Daerah, Peraturan Wali Kota, hingga Surat Edaran untuk memperkuat perlindungan dan perluasan jaminan sosial bagi pekerja informal. Kebijakan ini menjadi modal penting dalam memperluas cakupan perlindungan.
Baca juga: Kapolres Depok Gelar Ngopi Kamtibmas di Yayasan Karya Putra Bangsa Cimpaeun Tapos
Strategi Depok: Edukasi Komunitas hingga Digitalisasi
BPJS Ketenagakerjaan Depok kini memilih pendekatan langsung ke akar rumput. Beberapa strategi yang sedang berjalan antara lain:
Edukasi komunitas dan profesi, seperti ojek daring, pedagang pasar, pekerja jasa, hingga UMKM melalui sosialisasi lapangan dan “pasar sadar jaminan sosial”. Kemitraan Perisai (Penggerak Jaminan Sosial Indonesia) serta agen perbankan untuk mendaftarkan pekerja secara kolektif. Juga pemanfaatan media sosial, webinar, dan Jamsostek Mobile (JMO) untuk memudahkan pendaftaran dan pembayaran iuran.
Selanjutnya ada Program De'linna Kerren (Depok Lindungi Pekerja Rentan) merupakan program kolaborasi antara Disnaker Depok dengan BPJS Ketenagakerjaan Depok dalam menyediakan jaminan sosial bagi para pekerja rentan atau buruh informal.
"Program ini diperuntukkan bagi pekerja yang tidak mempunyai atasan, tidak punya gaji tetap. Misalnya, penjaga rumah ibadah, tukang sampah, petugas keamanan di lingkungan RW, penggali kubur, pemandi jenazah, penjaga rumah ibadah dan lain sebagainya," jelasnya.
Di sisi layanan, BPJS Ketenagakerjaan Depok membuka kanal pelayanan di Mal Pelayanan Publik (MPP), melakukan kunjungan ke perusahaan, membuka booth keliling, dan menggelar sesi interaktif rutin di media sosial.
Baca juga: Satpol PP Depok Segera Tertibkan PKL di Stasiun Depok Lama dan Ruko Kartini
Menuju Perlindungan yang Lebih Inklusif
Ke depan, BPJS Ketenagakerjaan Depok terus membidik peningkatan jumlah peserta informal pada 2026 mendatang, sekaligus memperkuat integrasi data dengan Pemerintah Kota Depok, Dinas Tenaga Kerja, dan BPJS Kesehatan.
Harapannya, layanan perlindungan sosial di Depok bisa terintegrasi antara aspek kesehatan dan ketenagakerjaan.
Novarina menegaskan, perlindungan sosial bukan hanya kewajiban administratif, tetapi bentuk keadilan sosial.
“Kami ingin memastikan tidak ada pekerja, baik formal maupun informal, yang bekerja tanpa perlindungan. Risiko kerja bisa datang kapan saja, dan jaminan sosial adalah jaring pengaman mereka,” ujarnya.
Di tengah hiruk-pikuk Kota Depok, para pekerja informal mungkin tak sempat memikirkan hari tua atau risiko kecelakaan. Tetapi dengan perlahan, BPJS Ketenagakerjaan Depok mencoba memastikan bahwa setiap keringat yang menetes, tidak dibiarkan jatuh sendirian. (***)
Penulis: Djoni Satria/Wartawan Senior
